Menjelajahi Kampung Al-Munawwar sebagai Penawar Lelah Usai Ujian

“Alhamdulillaaaah, akhirnya kelar juga Ujian Akhir Semester Ganjil. Waktunya refreshing!” teriak batinku ketika selesai mengerjakan Mata Kuliah Perpajakan siang itu.

Setelah menimbang dan memutuskan, walhasil aku memilih melepas lelah usai ujian untuk pergi ke Kampung Al-Munawwar. Bukan tanpa alasan aku hendak ke sana. Lantaran baru-baru ini aku mendapat sebuah kabar gembira tentang Kampung Al-Munawwar. Kampung Al-Munawwar dinobatkan sebagai juara I Kampung Adat Terpopuler se-Indonesia oleh Anugerah Pesona Indonesia 2018 bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI. So, rasa penasaranku makin bergejolak ingin segera ke sana.

Kamis siang (27/12/2018), kunyalakan motor bututku menuju ke Kampung Al-Munawwar. Letaknya di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II Kota Palembang. Jarak rumahku dari kampung tersebut sekitar 7,7 km. Ruteku dimulai dari Jalan Bambang Utoyo menuju Jalan Letda A Rozak berbelok ke Jalan dr M Isa masuk ke Jalan Punai. Lalu keluar melewati Jalan Rajawali. Sesampai lampu merah, kuarahkan ke sebelah kanan melewati Jalan Veteran. Untuk diketahui, Jalan Veteran menuju Simpang Charitas bisa dikatakan pusatnya jual-beli mobil di Kota Palembang. Lantaran di sepanjang jalan tersebut berjejer mobil-mobil yang diperjualbelikan.

Sesampai Simpang Charitas, aku lalu belok kiri menuju Jalan Sudirman. Di jalan ini kita dapat melihat deretan pertokoan. Jika weekend malam, Jalan Sudirman akan disulap sebagai pendestrian. Jadi, jalan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin melepas penat. Beragam hiburan dan stand kuliner ada di sana. So, kendaraan dilarang lewat dan dialihkan sejenak.

Jalan Masuk Menuju Kampung Al-Munawwar

Berikutnya, motorku mendekati Jembatan Ampera. Di sampingnya, berdiri kokoh lintasan Light Rail Transit (LRT). Ada rasa bangga di hati, ketika mengetahui LRT di Palembang merupakan LRT kali pertama yang beroperasi di nusantara. Saat menuruni pangkal Ampera bagian Seberang Ulu, kubelokkan motorku ke sebelah kiri. Aku lalu melintasi sebuah pasar. Namanya Pasar 10 Ulu. Beberapa kali motorku melewati jembatan kecil. Tidak berapa lama, aku pun sampai di sebuah lorong. Ukurannya sekitar dua meter. Kubaca plang di atasnya. Tertulis Kampung Al-Munawwar. Di pangkal lorong, ada sebuah pos di sisi kanan. Rupanya pos tersebut pos jaga. Jadi, setiap pengunjung wajib lapor dan membayar tiket masuk sebesar Rp 5.000,- per orang.

Sebagai pengunjung kita akan diminta oleh petugas untuk melakukan registrasi. Kita wajib membubuhi nama dan asal kita dari mana. Uniknya, di meja registrasi, ada beberapa lembar sarung dan kalender 2019.
 “Mbak, apakah kalender dan sarung ini dijual?" tanyaku pada petugas.
Perempuan itu tersenyum.
“Kalau kalender satunya 30 ribu. Kalau sarung nggak dijual, Mas. Kami hanya menyediakan saja. Siapa tahu kalau ada pengunjung pria yang mengenakan celana pendek. Mereka harus mengenakan sarung ini sebelum masuk,” jelas perempuan hitam manis tersebut.

Untuk masuk kampung ini WAJIB berpakaian sopan. Bagi kaum adam harus menggunakan celana panjang. Sementara kaum hawa dilarang mengenakan rok dan kaus berlengan pendek. Pokoknya masuk ke sini tidak boleh sembarangan. Bukan cuma itu, dua orang yang bukan muhrim saja berjalan beriringan tidak diperbolehkan. Mantap, bukan?


Jalan Kampung Al-Munawwar yang Dipisahkan Dua Rumah

Usai mendapatkan penjelasan dari petugas tiket, lalu kususuri perlahan kampung ini. Beberapa langkah dari pos tadi, mataku melihat rumah di sisi kanan dan kiri. Bagiku arsitektur kedua rumah ini begitu unik. Tidak seperti rumah pada lazimnya. Itu terlihat dari daun jendelanya yang lebar dan besar. Terbuat dari jenis kayu pilihan. Kayu Unglen, namanya. Menariknya, ada beberapa tempat duduk. Warnanya cokelat. Senada dengan rumah yang ada di belakangnya. Jika kata anak zaman now, tempat duduk ini sangat instagramable. Tidak mengherankan, jika para pengunjung selalu mengambil gambar di sini. 


Bergaya Dulu di Tengah Kampung

Aku kemudian melanjutkan perjalanan. Sesaat aku terhenti pada 2 batu petunjuk di tengah kampung. Di sana barulah aku ketahui nama rumah di sisi kanan dan kiri tadi. Nama rumah di sisi kanan itu adalah Rumah Batu. Sedangkan rumah di sisi kiri bernama Rumah Darat. Ketika aku asyik membaca, tetiba seorang pria mendekatiku.
"Maaf Mas, dari mana ya?"
"Ooo aku dari Palembang, Mas!”
Dia mengangguk.
"Mas petugas di sini ya?" tanyaku.
Dia mengiyakan.
"Maaf, kalo boleh tahu siapa nama mas?”
"Nama saya Ali." jawabnya.

Informasi Tentang Rumah Batu

Lalu tetiba dari mulutnya meluncur penjelasan tentang Rumah Batu. Rumah Batu dulunya merupakan tempat pasukan umat muslim Palembang berlindung diri dari serangan Belanda. Konstruksi Rumah Batu sendiri terbuat dari dua lapis batu bata besar yang direkatkan menggunakan putih telur. Sedangkan Rumah Darat adalah rumah dengan dua lantai. Lantai atas terbuat dari kayu. Sedangkan lantai bawahnya terbuat dari batu. 

Mas Ali begitu ramah dan sigap. Dia sangat detail menjelaskan. Sehingga pembicaraan kami begitu mengalir. Lantas aku diajaknya mengelilingi Kampung Al-Munawwar. Dia menjelaskan beberapa bangunan yang ada. Seperti bangunan besar berwarna hijau di depan Rumah Batu.
“Kalau itu, madrasah atau setara Sekolah Dasar. Namanya Al-Kautsar,” tunjuk Mas Ali.
“Sepertinya bangunan lama ya, Mas?” kataku.
Dia mengangguk. 

Madrasah Al-Kautsar

Kembali aku mendapatkan pencerahan tentang Madrasah Al-Kautsar dari Mas Ali. Hampir seluruh anak yang ada di Kampung Al-Munawwar bersekolah di Al-Kautsar. Anak-anak yang berada di kampung tetangga pun ada yang mengenyam pendidikan di Al-Kautsar. Sayangnya, sekolah lagi libur. Sehingga aku tidak memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam - melihat dari dekat konstruksi bangunannya. Kata Mas Ali, konstruksi bangunan Alkautsar terbuat dari bahan pilihan. Sehingga tahan lama. Sudah banyak alumni hebat yang ditelurkan dari AlKautsar.

“Kalau rumah itu rumah apa namanya, Mas?” tanyaku kepada Mas Ali sambil menunjuk rumah di samping Sekolah Al-Kautsar.


Rumah Tinggi

Kami kemudian duduk di salah satu bangku. Mas Ali memaparkan lebih rinci. Rumah yang ada di samping Sekolah Al-Kautsar adalah Rumah Tinggi. Rumah inilah rumah yang kali pertama di bangun di kampung ini. Usianya sudah lebih dari 200 tahun. Pendirinya adalah Habib Hasan Abdurrahman Al-Munawwar. Beliau seorang penyebar agama Islam dari bangsa Arab. Debutnya sangat diperhitungkan di Palembang. Habib Abdurrahman lantas membuka pengajian. Meski jarang direnovasi, Rumah Tinggi masih bertahan hingga kini. Arsitektur Rumah Tinggi bergaya Palembang berpadu corak Arab. Di malam hari, banyak anak yang menuntut ilmu agama di rumah ini. 

Jalan Menuju Ujung Kampung
 
Lalu, kami berjalan hingga menuju ujung kampung. Sambil berjalan, kami saling bercakap-cakap. Selanjutnya aku mendapatkan penjelasan lagi dari Mas Ali. Ternyata Kampung Al-Munawwar memiliki 25 rumah dengan 8 rumah yang dijadikan sebagai cagar budaya dan sejarah. Di kampung ini, semua penduduknya keturunan Arab. Ada 65 kepala keluarga dengan kurang lebih 300 jiwa yang mendiami Kampung Al-Munawwar. Dari ceritanya, kini aku banyak tahu tentang Kampung Al-Munawwar. Wajar saja, dari masuk lorong hingga di ujung lorong aku menjumpai orang-orang berhidung mancung dan alis tebal dengan pakaian tertutup. Bisa dibilang, Kampung Al-Munawwar satu diantara Kampung Arab tertua yang ada di Kota Pempek. 

Musola di Ujung Kampung Al-Munawwar

Tak terasa, kami pun telah sampai di ujung kampung. Speechless! Ketika kami sampai di ujung, mataku menyaksikan hamparan air. Rupanya Kampung Al-Munawwar berada di tepian Sungai Musi. Uniknya, di ujung kampung ini, ada sebuah musola yang dibangun di atas air. Menengok ke sebelah kanan, mata kita akan menyapu Jembatan Musi IV yang baru kelar dibangun. Sehingga membuat suasana di ujung kampung Al-Munawwar makin asyik. 

Tidak heran jika telah berada di ujung kampung, kita enggan untuk bergerak ke tempat lain. Pasalnya tempatnya sangat teduh dan paling cocok untuk berfoto ria. Di ujung kampung ini, ada warung dan dermaga yang sedang dibangun. Tetiba aku mendapati sebuah gerbang kecil. Di gerbang itu tertulis Kampung Berseri Astra. Aku tergelitik bertanya sama Mas Ali.
“Ada hubungan apa Astra dengan Kampung Al-Munawwar, Mas?” tanyaku.
Mas Ali mengajakku kembali duduk di sebuah teras di dekat warung. Dari mulutnya mulai bercerita. Dengan seksama aku mendengarkannya.

Gerbang di Ujung Kampung Al-Munawwar

Usut punya usut, gerbang itu dibuat Astra saat menyambut perhelatan Asian Games 2018. Kebetulan Astra sebagai sponsor Asian Games 2018 menggunakan Kampung Al-Munawwar sebagai tempat penyerahan obor Asian Games 2018. Tidak cukup sampai di situ, Astra juga pernah memberikan sponsor hadiah saat pertandingan 17 Agustusan di Kampung Al-Munawwar dan perlombaan mewarnai di Sekolah Al-Kautsar. Ke depannya, ada rencana dari Astra untuk membuat Taman Baca di Kampung Al-Munawwar, terang Mas Ali.

Jembatan Musi IV

Sementara di bidang UMKM, Astra rela menyewa tempat lalu membangun sebuah galeri kecil. Galeri itu dijadikan sebagai tempat penjualan kerupuk, kaus bertuliskan Al-Munawwar, dan songket khas Palembang. Letak galeri ini berada di pangkal lorong sebelah kiri. Lebih jauh Mas Ali mengatakan, UMKM dari Kampung Al-Munawwar sendiri telah ada sejak lama. Dan bergerak di bidang penjualan nasi kebuli – nasi khas Arab, kue khas Arab, dan kopi. Memang sejak dulu, Kampung Al-Munawwar terkenal dengan kopinya. Oleh sebab itu, ada dua gudang kopi di kampung ini.

Galeri Astra yang berada di Pangkal Lorong

Tapi selain Astra, Dinas Pariwisata Provinsi Sumsel, Dinas Pariwisata Kota Palembang, Bank Indonesia, dan beberapa pihak lainnya tidak luput memberikan sumbangan untuk kemajuan Kampung Al-Munawwar, pungkas Mas Ali.

Senja pun menghampiri. Aku kemudian pamit pulang pada Mas Ali. Dalam perjalanan pulang, aku berkata dalam hati. Wajar dan layak jika Kampung Al-Munawwar dinobatkan sebagai juara I Kampung Adat Terpopuler se-Indonesia. Selain keaslian bangunannya masih terjaga, kampung ini juga bersih dan nyaman untuk dikunjungi. Petugas dan warganya pun ramah.


Bagi kalian yang ingin menyambangi kampung wisata ini, caranya mudah banget! Ada beberapa alternatif yang perlu dicoba. Jika melalui jalur darat, Anda bisa memesan jasa ojek atau taksi online. Ketik saja alamat tujuannya di aplikasi telepon genggam kalian; Kampung Wisata Al-Munawwar. Maka dengan cepat akan keluar. Sedangkan jika Anda ingin merasakan ke kampung ini lewat jalur air, Anda bisa menumpangi getek - perahu khas Sungai Musi. Anda bisa mendatangi Dermaga 16 Ilir atau Dermaga Benteng Kuto Besak (BKB). Soal tarif, Anda harus pandai bernegosiasi dengan pemilik getek!

Semoga di lain kesempatan aku dapat menginjakkan kaki lagi ke kampung dengan luas 1,7 hektare ini!


Aku dan Mas Ali - Petugas Pengelola Kampung Al-Munawwar




0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers