Saatnya Citarum Mencontoh Musi
Namanya Musi.
Sebuah sungai yang membelah kota tempat saya tinggal menjadi dua. Bagian ilir
dan ulu. Panjangnya sekitar 750 km. Secara administrasi, Daerah Aliran
Sungai (DAS) Musi melewati 4 (empat) provinsi, yakni Sumatera
Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Dari zaman Sriwijaya berlanjut ke
zaman Kesultanan Palembang hingga zaman sekarang, Sungai Musi telah menjadi
sumber penghidupan penduduk, terutama di bidang ekonomi.
Ada salah satu
bagian di tepian Sungai Musi yang menjadi pusat perekonomian penduduk
Palembang, bahkan Sumatera Selatan. Tepian itu tidak pernah sepi. Adalah Pasar
16 Ilir dan dermaganya. Posisi dermaga persis di dekat Jembatan Ampera bagian
ilir. Di dermaga ini, baik penduduk yang tinggal di Palembang maupun dari luar
jika hendak berpergian lewat jalur air, maka dermaga ini merupakan pilihan yang
tepat.
Pasar 16 Ilir dan
Dermaganya
(Sumber; di sini)
Dermaga ini
terintegrasi langsung dengan dermaga yang menghubungkan banyak daerah di pedalaman
Sumatera Selatan. Saya pernah menumpangi speedboat
(perahu cepat) melalui dermaga ini menuju Desa Muara Merang yang berada di
wilayah pedalaman Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Tujuannya saya
ketika itu hendak bekerja di sebuah pabrik kelapa sawit. Sebagai informasi,
waktu yang diperlukan untuk menempuh ke sana sekitar 5 jam. Sebelum speedboat berjalan, saya dapat
menyaksikan dari dekat aktivitas kuli panggul mengangkut barang-barang dari
Pasar 16 Ilir menuju kapal berisi muatan barang.
Selanjutnya,
setelah speedboat berjalan, saya bisa
melihat beragam aktivitas penduduk memanfaatkan Sungai Musi. Dari balik
jendela, saya mengintip beberapa lelaki paruh baya menjala ikan menggunakan
perahu. Lantas mata saya menyapu kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Boom Baru,
Palembang. Tidak jauh dari sana, saya melihat rumah makan terapung. Uniknya,
rumah makan itu bukan berbentuk rumah, melainkan perahu yang dimodifikasi
sedemikian rupa layaknya rumah makan. Disusul berlalu lalangnya kapal yang
mengangkut batubara, sayur, barang-barang pokok, dan lain sebagainya. Berselang
kemudian, saya mendapati beberapa tambak ikan atau udang yang dibangun tidak
jauh dari rumah penduduk. Saya langsung membatin dalam hati, “Luar bisa Sungai
Musi, bisa memberikan dampak positif sebagai sumber kehidupan ekonomi untuk
penduduknya.”
Rumah Makan
Terapung
(Sumber; Dok Pribadi)
Lebih jauh
menyoal kegiatan ekonomi, rupanya sudah sejak lama Sungai Musi dimanfaatkan untuk
air bersih dan air minum. Ada perusahaan daerah yang mengelolanya. Namanya PDAM
Tirta Musi. Sebelum didistribusikan ke rumah-rumah penduduk, tentunya air yang
telah disedot difilter terlebih dahulu – melewati beberapa proses hingga
menjadi air bersih. Kadar air yang disedot pun tidak boleh kotor atau hitam
pekat. Untungnya, kadar air Sungai Musi masih tergolong cukup bening. Hal ini
tidak terlepas dari campur tangan pemerintah setempat dalam memberikan sanksi tegas
bagi perusahaan yang membuang limbah ke sungai.
Di bagian lain,
Sungai Musi masih menyumbang manfaat ekonomi bagi penduduk. Persisnya di Daerah
Aliran Sungai Musi bagian Bengkulu, di sana dibangun Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA). Selain dapat menyokong suplai listrik yang ada di wilayah Sumatera
Bagian Sumatera Selatan, dengan didirikannya PLTA pula dapat membuka lapangan pekerjaan
bagi penduduk yang menganggur.
Menyulap Eceng Gondok dan Sampah
Kali pertama
orang tua saya menginjakkan kaki di kota ini sekitar tahun 1950-an dari Jawa
Barat, air Sungai Musi masih jernih. Beragam ikan pun hidup di sungai ini. Yang
terkenal adalah ikan belida. Namun kini, populasi ikan belida berkurang. Yang
ada malah eceng gondok dan sampah yang memenuhi permukaan sungai. Apalagi
ketika sungai surut. Sampahnya akan terbawa hingga ke bibir sungai.
Tiap hari,
petugas dari Dinas Kebersihan Kota Palembang membersihkan eceng gondok dan
sampah. Bahkan, walikota dan jajarannya pun terjun langsung ikut gotong royong
membersihkan sungai terpanjang di Pulau Sumatera tersebut. Eceng gondok memang
tidak sedap dipandang mata. Disamping menganggu bagi transportasi air, seperti
kapal atau getek yang hendak berlayar.
Saya pernah
menumpangi getek, lalu saya dan bapak pengemudi itu terlibat percakapan. Omong-omong getek, getek adalah perahu
bermesin yang bisa Anda dijumpai hanya di perairan Sungai Musi. Masih teringat
di benak saya, ketika si pengemudi bilang, kalau ada eceng gondok yang
menyangkut di bagian bawah getek akan berpengaruh pada mesin. Kadang mesin jadi
mati sendiri. Kalau sudah begitu, dia harus mengeluarkan tenaga ekstra
melepaskan eceng gondok.
Eceng Gondok yang Mengotori Sungai Musi
(Sumber; di sini)
Meski kebanyakan
orang bilang eceng gondok menjadi masalah karena membuat aliran air Sungai Musi
tersendat dan menjadi sarang nyamuk, tetapi di bagian Sungai Musi lainnya,
justru eceng gondok menjadi sebuah berkah. Ada penduduk yang tinggal di pesisir
anak Sungai Musi mampu mengolah eceng gondok menjadi produk
yang dapat dijual. Eceng gondok dibuat menjadi beragam kerajinan.
Menariknya lagi, penduduk yang mendiami tepian Air Lanang,
salah satu anak Sungai Musi. Bisa dibilang penduduknya mempunyai gagasan kreatif.
Eceng gondok yang menumpuk dan menganggu itu, lalu diangkat dari sungai.
Kemudian dipotong-potong dan dijemur di bawah terik matahari. Setelah kering
betul, eceng gondok tersebut dicampur bermacam bahan lainnya, seperti sekam
kopi dan kotoran hewan. Lantas difermentasi. Yang pada akhirnya diolah menjadi
pupuk kompos. Pupuk inipun dijualbelikan oleh penduduk kepada petani yang
membutuhkan.
Berkaca dari masalah eceng gondok, walaupun menjadi sampah
organik yang menganggu di perairan Sungai Musi, tetapi tanaman dengan nama
latin eichhornia crassipes ini
memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Terbukti, eceng gondok dapat
disulap menjadi sebuah kerajinan tangan dan pupuk. Kalau sudah begitu, ada dua
manfaat yang sekaligus didapat dari pengangkutan eceng gondok dari sungai.
Pertama, Sungai Musi menjadi lebih bersih dan kedua bisa menjadi ladang
pendapatan bagi penduduk. Dengan demikian, dapat mendongkrak roda perekonomian
di daerah pesisir sungai.
Tidak ketinggalan pula dengan sampah-sampah yang sering berseliweran
di Sungai Musi. Setelah sampah-sampah itu diangkut dari sungai oleh petugas kebersihan,
lantas dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sukawinatan, Palembang. Lalu di
sana sampah diubah menjadi gas metan yang seterusnya dimanfaatkan sebagai bahan
baku untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Meskipun hasil dari PLTSa
belum maksimal dan saat ini masih terus diuji coba, tetapi setidaknya dapat
mengurangi volume sampah yang ada di Kota Pempek.
Menengok Potensi Sungai Musi Kini
Dulu, kira-kira
20 tahun yang lalu, ada satu tempat di tepian Sungai Musi terkenal bau, becek,
jorok, dan tidak sedap dipandang mata. Padahal letaknya tidak jauh dari Jembatan
Ampera. Lewat seorang ide walikota kemudian dibantu pihak yang terlibat, daerah
becek dan bau tersebut kini disulap menjadi sebuah tempat rekreasi. Yang mana
makin ke sini, tempat rekreasi itu makin aduhai. Dilengkapi dengan tempat
duduk, tulisan P-A-L-E-M-B-A-N-G, taman, Tugu Iwak Belido – salah satu icon baru Palembang, dan lain-lain.
Setiap hari,
terutama tiap hari libur, orang-orang akan berkunjung ke sana bersama keluarga,
teman, atau pacar. Jika ada acara, semisal jalan sehat atau band musik, tempat ini akan selalu
ramai. Adapun nama tempat rekreasi itu adalah Benteng Kuto Besak (BKB). Mungkin,
Anda pernah berkunjung ke BKB? Kalau sudah, syukurlah! Kalau saya, lumayan
sering.
Jadi, bisa
dibayangkan, tepian sungai yang tidak sedap dipandang saja jika dikembangkan
memiliki potensi besar sebagai daya tarik wisata. Manfaatnya tentu telah
dirasakan oleh Pemerintah Kota Palembang dan warganya. Salah satu manfaat besar
yang dirasakan, yakni dari segi ekonomi. Dengan hadirnya Benteng Kuto Besak di
tepian Sungai Musi mendorong penduduk menggelar dagangan. Belum lagi,
beroperasinya beberapa restoran dan minimarket yang ada di sana. Secara tidak
langsung, hal ini akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan mengurangi
jumlah pengangguran yang ada.
Pelataran Benteng Kuto Besak di Pagi Hari
(Sumber; Dok Pribadi)
Cerita potensi Sungai
Musi bukan hanya soal Benteng Kuto Besak saja yang akhirnya bisa dijadikan
sebagai objek wisata. Ada lagi yang menyita mata. Ya, barisan rumah warna-warni
yang berada di sepanjang Sungai Musi. Tahukah kalian? Sebelumnya sebagian
rumah-rumah itu adalah rumah biasa saja bahkan tergolong kumuh. Tetapi berkat
kejelian Pemerintah Kota Palembang dan pihak terkait, rumah yang biasa saja itu
kemudian dilakukan renovasi pada dinding, lantai, dan bagian lainnya. Lantas
rumah tersebut dihias semenarik mungkin seperti dengan mengecatnya,
mendekorasinya, atau lainnya. Alhasil cara unik ini sukses mengundang decak
kagum bagi yang melihatnya. Dan, kemudian berniat untuk mengunjunginya dari
dekat.
Jika tadi
berbicara rumah biasa saja yang disulap menjadi rumah warna-warni, Pemerintah
Kota Palembang memang kini sedang giat-giatnya membangun daerah tepian sungai
dan anak Sungai Musi menjadi lebih indah. Setiap daerah tepian Sungai Musi yang
dulu kumuh, jorok, daerah tidak bertuan, sekarang disulap menjadi turap dan
jalan yang saling terintegrasi dilengkapi dengan taman. Sehingga taman-taman dan
turap itu diperuntukkan bagi penduduk sebagai tempat bersantai melepas penat
sekaligus bermain ketika libur atau sore hari seraya menikmati gagahnya
Jembatan Ampera.
Turap Bagian Seberang Ulu, Kota Palembang
(Sumber; di sini)
Rasanya
bercerita tentang potensi Musi tidak akan pernah ada habisnya. Pada Zaman
Kesultanan Palembang, Sungai Musi telah menjadi tempat untuk bertandingnya kenceran (sebutan lomba berperahu kala
itu). Berikutnya, memasuki tahun 2000-an potensi Sungai Musi terus dikembangkan
menjadi wisata olaharga air. Tercatat, beragam event olahraga air bertaraf nasional atau internasional berlangsung
di Sungai Musi. Mulai dari triathlon, musiboat, triboathlon, dan lain sebagainya.
Berbeda saat
saya kecil dulu. Saya tidak menemukan event
itu. Saya hanya bisa menyaksikan bidar (lomba balap perahu) yang dihelat
saat 17 Agustus atau saat Kota Palembang berulang tahun saja. Tidak lebih. Sungguh,
saya merasa beruntung. Lantaran makin banyak kegiatan yang dihelat dengan
memanfaatkan Daerah Aliran Sungai Musi. Ini membuktikan jika Sungai Musi masih
memiliki banyak potensi untuk terus digali, lalu dikenalkan kepada masyarakat,
baik dalam maupun luar negeri.
Untuk Citarum Harum
Setelah
menceritakan manfaat dan potensi sungai kebanggaan saya, maka saya berharap
besar sudah saatnya Citarum bisa mencontoh Musi. Terlebih soal sampah.
Sebagaimana kita ketahui bersama, volume sampah Citarum tergolong tinggi. Dunia
pun mengakui jika Citarum adalah sungai yang kotor. Ada baiknya Citarum meniru
pola yang digunakan oleh Pemerintah Palembang. Pertama, memberi sanksi tegas
bagi perusahaan yang membuang limbah sembarangan. Dan kedua, mengangkut sampah-sampah
yang ada di permukaan sungai, lalu mengubahnya menjadi gas metan sebagai bahan
PLTSa Sukawinatan, Palembang.
Atau
alternatif lain, Citarum bisa mengubah sampah-sampah, terutama sampah plastik
yang memenuhi permukaan sungai dengan mengonversinya menjadi Bahan Bakar Minyak
(BBM). Memang sebagian orang akan berpikir mustahil jika sampah plastik bisa
diubah menjadi BBM. Tetapi, belakangan ini telah banyak yang mencobanya dan
berhasil. Yang terbaru ada di Palembang, tepatnya di Instalasi Pengolahan Sampah
yang berlokasi di Kalidoni Palembang. Di mana, di instalasi pengolahan sampah
tersebut sampah-sampah dari masyarakat, terutama sampah plastik dapat
dikonversi menjadi BBM. Meski baru berjalan beberapa bulan, tetapi hasil olahan
BBMnya telah terbukti – meski harus terus diuji sehingga mendapatkan hasil yang
lebih baik.
Mesin Konversi Sampah
jadi BBM di Kalidoni, Palembang
(Sumber; Dok pribadi)
Tentunya,
untuk mewujudkan semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan
tetapi, jika ada kemauan belajar dan semangat ingin maju yang digerakkan oleh seorang
pemimpin lalu diikuti oleh segenap warga, tidak menutup kemungkinan Sungai
Citarum perlahan kondisinya akan kembali lebih baik. Ketika semangat ini terus
didengungkan dan didukung kolaborasi antar stakeholder terkait, maka
tidak ada yang tidak mungkin. Target 7 (tujuh) tahun Sungai Citarum akan
berubah menjadi sungai yang harum, sesuai dengan keinginan Bapak Jokowi,
Presiden Indonesia. Kita doakan saja!
Referensi Tulisan;
Ubah Eceng Gondok jadi Pupuk;
Referensi Foto;
Foto Pasar 16 Ilir dan Dermaganya;
http://www.jalanjalankita.com/jembatan-ampera-pertemuan-setelah-11-tahun-penantian/
Eceng Gondok yang Mengotori Sungai Musi;
Turap Bagian Seberang
Ulu, Kota Palembang;
http://kotapalembang.blogspot.com/2009/02/turap-seberang-ulu.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
- “ngaBLOGburit”
- Acer Indonesia
- Acer Liquid Z320.
- Berkah Ramadhan
- Biaya Umroh
- Catatan Anak Bangsa
- Cerpen
- Daftar Umroh
- emas
- Haji Umroh
- Ibadah Umroh
- Jalan-Jalan
- Jelajah Gizi
- Kearifan Lokal Palembang
- Kontes Foto
- Kontes Menulis
- Motor
- Puasa
- Ramadhan
- Shooting Iklan
- Smartphone Acer
- Travel Umroh
- Umroh Murah
- Umroh Ramadhan
- Undian
- Unilever
0 comments:
Post a Comment