Menelusuri Potret Kehidupan Anak-Anak Desa Sungai Keli

Akhir Maret 2015
Sore itu, aku kedatangan seorang sahabat lama. Bagiku dia sahabat baik luar biasa. Namanya Andre. Kuajak dia duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Seperti biasa, perbincangan di antara kami bergulir. Usut punya usut, ternyata Andre sekarang menjadi guru honorer di Desa Sungai Keli. Desa ini terletak di Kecamatan Pemulutan Selatan, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Jaraknya dari Palembang kurang lebih 2 jam jika ditempuh dengan sepeda motor. Setiap mengajar, Andre pulang-pergi menelusuri Palembang-Pemulutan Selatan. 

Andre mulai bercerita pengalaman kali pertama mengajar di desa tersebut. Mulanya, dia sangat antusias bercerita. Tapi lama-kelamaan, cerita yang diungkapkan Andre mulai mengandung nada kesedihan. Aku sempat tercenung lalu mataku berkaca-kaca mendengar ceritanya. Bagaimana tidak, rasanya miris. Hidup di negeri yang telah merdeka sejak 70 tahun, masih ditemukan kehidupan seperti yang dituturkan Andre, mulai dari sisi pendidikannya bahkan kehidupan anak-anaknya.

Diujung pembicaraan sebelum pulang, Andre memohon kepadaku untuk sesekali melihat potret kehidupan di sana. Siapa tahu bisa didokumentasikan via blog, ucap Andre dengan lirih. Lalu aku tersenyum, kemudian menganggukan kepala sebagai tanda setuju. Andre membalas dengan senyuman lantas ia menyalamiku.

Senin 6 April 2015
Pagi ini, aku menepati janji pada Andre. Aku ikut Andre mengajar ke Sungai Keli. Setelah sholat subuh dan sarapan, kami mulai bersiap. Tak lupa, kami gunakan safety riding. Aku dibonceng Andre menggunakan sepeda motornya. Tepat jam 6, Andre mulai menyalakan mesin motornya menuju Pemulutan Selatan.

Andre dan Motornya  yang terperosok

Beruntung, pagi ini kami tak menjumpai macet. Jalanan Palembang masih lengang. Setiba di Kecamatan Pemulutan Selatan, aku disambut dengan jalanan becek dan jelek. Semalam habis hujan. Andre harus konsentrasi penuh mengendarai motor agar tak oleng. 

Tak berapa lama, kami menyaksikan deretan pepohonan di sisi kiri-kanan. Lalu hamparan sawah nan luas menyambut kami. Sejuk dan segar rasanya. Pemandangan seperti ini sangat mustahil kutemukan di kota. Beberapa saat kemudian, kembali kami menghadapi jalanan yang buruk. Medannya licin dan bergelombang. Malang bagi kami. Motor yang dikendarai Andre terperosok. Pakaian kami jadi kotor. Namun, niat baik Andre untuk mengajar tidak luntur sedikit pun. Dibantu beberapa warga, motornya kembali menyala. Kami lantas meneruskan perjalanan.

Matahari mulai naik. Tak berapa lama, kami tiba di gedung sekolah. Sembari menunggu murid datang, aku membantu Andre menyapu. Seketika mataku membulat dan mulutku menganga. Hatiku tiba-tiba teriris. Seorang bocah laki-laki tanpa alas kaki menuju sekolah. Kakinya kotor. Pakaiannya lusuh. Tetapi di wajahnya terpancar semangat membara. Semangat menuju tangga kesuksesan. Lalu datang lagi seorang bocah laki-laki. Kali ini, ia memakai alas kaki. Tetapi, pakaiannya lusuh. Wajahnya sedikit murung. Kudekati mereka, lalu kutanya siapa nama mereka. Mereka malu-malu. Semakin lama, murid semakin banyak berdatangan. Andre pun mulai mengajar. Sementara aku hanya bisa membantu Andre.

Seorang bocah laki-laki menuju sekolah
(dok pribadi)

Setelah mengajar, kami tak langsung pulang ke Palembang. Andre mengajakku kelilingi desa menggunakan sepeda motornya. Sejurus kemudian, apa yang dituturkan Andre beberapa hari lalu, kini dapat kusaksikan dengan mata kepalaku. Sungguh, miris sekali! Beberapa gadis perempuan - kira-kira berusia 14-16 tahun telah menjadi ibu muda. Mereka duduk di depan rumah sembari menggendong bayi. Ada yang tengah memberi makan. Sepatutnya usia mereka itu sedang giat-giatnya menimba ilmu. Bukan malah sibuk mengasuh anak!


Kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Sesaat kami tiba di sebuah sungai. Di sana ada beberapa bocah sedang memancing. Jika kuperhatikan wajah-wajahnya asing. Tak kutemukan saat di sekolah tadi. Aku mencoba membaur. Tetapi bahasanya tak mudah kupahami. So, aku gunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi kepada mereka. Kembali, mataku berkaca-kaca. Rupanya mereka tidak sekolah. Mereka menghabiskan masa anak-anaknya dengan bermain dan bermain. Saking asyiknya bercakap-cakap dan membagi permen, kami lupa untuk menunaikan sholat zhuhur.

Bergegas kami menumpang sholat ke rumah Hasan. Hasan adalah teman Andre. Dia adalah salah seorang guru yang tinggal di Sungai Keli. Usai sholat, kami langsung pulang ke Palembang. Jika tidak pulang, maka alamat kami akan didera macet berkepanjangan di Indralaya.

Salah seorang ibu muda Desa Sungai Keli
(dok pribadi)

--0--
Melihat langsung dari dekat kehidupan anak-anak Desa Sungai Keli, maka timbul sebuah solusi pembaharuan dari dalam benakku. Ide-ide ini setidaknya dapat “mengeluarkan” anak-anak Desa Sungai Keli dari jerat permasalahan yang mendera mereka.

Solusi untuk pernikahan dini
Memang banyak faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini, semisal faktor pendidikan, ekonomi, dan kerap terjadinya MBA alias Married By Accident. Namun,  cara jitu ini bisa membentengi anak kita agar tidak ikut-ikutan menikah dalam usia yang sangat muda.

1. Peran Orangtua Pokok Utama
Orangtua adalah segala-galanya bagi sang anak. Bukan hanya sebagai pelindung bagi anak-anaknya, tetapi juga sebagai guru sepanjang hayat. Seperti pepatah mengatakan, keluarga adalah sekolah terbaik. Sudah seharusnya orangtua mengajarkan beragam hal kepada anak, mulai dari hal yang terkecil hingga terbesar. Jalin komunikasi yang baik dan seaktif mungkin antara anak dan orangtua. Sesering mungkin lakukan diskusi, quality time, dan berikan pengetahuan tentang arti kehidupan, pernikahan dan seks ketika usia anak telah berada di fase remaja.

Berbicara soal pernikahan dan seks, sebaiknya orangtua jangan pernah malu dan menganggapnya tabu. Jelaskan secara detail efek negatif dari nikah muda. Dengan begitu, anak-anak tidak akan terpengaruh untuk melakukannya.

Dan jauh lebih penting, bekali anak dengan payung keimanan dan ketaqwaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Jika kita sebagai penganut Agama Islam, maka sudah menjadi kewajiban orangtua untuk mengajarkan anak-anaknya mengaji dan mengkaji Alquran dan ilmu lainnya. Sehingga ketika mereka ingin berbuat yang aneh-aneh, mereka akan berpikir 2 kali. Pasalnya mereka telah dibentengi ilmu agama.

2.  Dirikan Sekolah Khusus Ibu-Ibu
Terkadang seorang perempuan yang telah menikah, kebanyakan diantara mereka tidak lagi memikirkan pendidikan. Mereka hanya sibuk mengurus anak dan suami.  Sama halnya dengan perempuan yang telah menikah di Desa Sungai Keli. Oleh sebab itu, aku memiliki solusi ampuh agar ibu-ibu muda Desa Sungai Keli dapat menyeleraskan antara keluarga dan pendidikan. Jalan keluarnya adalah dengan mendirikan sekolah khusus ibu-ibu.

Di mana sekolah ini dibuka pada siang hari. Mengingat ketika siang hari, kesibukan para ibu, baik ibu-ibu muda, paruh baya, dan lansia Desa Sungai Keli tak terlalu padat. Di sekolah ini, ibu-ibu muda diberikan kembali pelbagai pelajaran. Namun pelajaran yang diberikan dibuat sedemikian ringan. Tujuannya tidak lain, agar mereka mudah memahaminya. Disamping itu, di sekolah ini pula para ibu diajarkan bagaimana mengatur keuangan keluarga, merawat anak, membuat kerajinan yang mana bisa dijadikan uang, dan lain sebagainya. Sehingga dengan hadirnya sekolah ini, dapat membawa angin segar bagi kehidupan Desa Sungai Keli yang lebih bermartabat. 

Solusi bagi Anak-anak yang tidak sekolah 
Miris memang, jika anak-anak yang didampuk sebagai penerus bangsa justru kehilangan kesempatannya untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, agar anak-anak Desa Sungai Keli dapat sama menimba ilmu wajib menempuh cara di bawah ini:
1. Lakukan Pendekatan dan Penyuluhan
Anak-anak sebenarnya paling cepat termakan bujuk rayu. Apalagi sama orang asing. Makanya untuk kasus ini, aku ingin sekali mengajak beberapa orang yang memiliki kemurahan hati ikut bersama melakukan pendekatan kepada anak-anak Desa Sungai Keli.
Pada proses pendekatan atau penyuluhannya nanti, kita tak perlu otoriter dalam bertanya. Desain pola pendekatannya sesantai mungkin. Sehingga apa yang kita sampaikan kepada anak-anak, akan mudah mereka cerna dan mereka jawab. Pada proses ini, kita harus bisa membuka mindset anak-anak tentang efek negatif jika tidak sekolah. Dengan begitu, anak-anak yang mulanya tidak minat untuk mengikuti pelajaran di sekolah menjadi tertarik.

2. Tampilkan Sosok Teladan
Rasanya cara kedua ini paling ajib menumbuhkan minat anak-anak Desa Sungai Keli agar tertarik bersekolah. Memang sedikit susah mencari sosok teladan seperti sekarang ini, tetapi kita tak perlu mencari jauh-jauh. Kita bisa mengundang seorang ustadz atau pendongeng atau kita sendiri yang menjadi pendongengnya. Lalu kita minta kiayi melakukan ceramah atau pendongeng itu bercerita. Tak lupa dalam ceramah atau cerita itu, kita selipkan sebuah amanat besar tentang efek jika tidak bersekolah. Yakinlah dengan cara demikian, anak-anak akan mulai berpikir dan hatinya mulai tergerak untuk bersekolah.

Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes blog yang diadakan oleh 
SOS Children’s Villages Indonesia

Jumlah kata dalam tulisan ini ada 1.225 buah

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers