Tradisi Sungai Musi; Dari Festival Bidar hingga Perahu Hias

Palembang, 17 Agustus 2015

Berkunjung ke Palembang pada saat HUT Kemerdekaan Republik Indonesia atau kota ini sedang merayakan HUT-nya, mampirlah sejenak melihat Festival Bidar dari tepian Sungai Musi. Dijamin, Anda akan terkesima menyaksikannya. Bukan cuma dari bentuknya yang menarik, tetapi juga dari suasana lomba itu sendiri, meriah dan gembira.

Siang agak terik. Tetapi aku memutuskan untuk tetap pergi ke plaza Benteng Kuto Besak. Bukan tanpa alasan aku pergi ke benteng yang berdekatan dengan Jembatan Ampera itu. Pasalnya aku ingin menyaksikan festival biduk lancar atau kerap dikenal dengan bidar di Sungai Musi. Kali ini, aku memutuskan menumpangi becak dari depan rumah menuju BKB. Setelah nego dengan abang tukang becak, akhirnya ia membawaku ke BKB. Tak berapa lama, becak melewati Pasar 16 Ilir – salah satu pasar tradisional legendaris di Palembang. Kemudian, aku pun sampai di gerbang BKB.
Ternyata di tepian plaza BKB telah ramai orang berkumpul. Aku tak kalah antusias. Bergegas aku mencari tempat yang teduh untuk menyaksikan Festival Bidar. Saat aku mendongak ke atas Jembatan Ampera, warga pun rela berpanas-panasan menyaksikannya dari atas sana.
Sementara, di atas aliran sungai Musi, telah berubah menjadi sebuah panggung bagi perahu-perahu yang bakal ikut serta dalam Festival Bidar. Setiap perahu berisi banyak orang – sekitar 11-24 pendayung. Warna perahu pun beraneka ragam. Ada biru, hijau, merah dan warna lainnya. Menariknya lagi, kostum peserta beraneka ragam pula. Semakin menambah meriahnya suasana.
Ketika lomba telah dimulai, para peserta mengerahkan tenaga sekuatnya untuk mengayuh perahu. Para peserta berlomba-lomba mencapai garis finish dari peserta lainnya. Sorak gembira meluncur dari mulut penonton memberi dukungan. Keseruan makin bertambah tatkala peserta saling susul-menyusul.
Usai Festival Bidar dilombakan, penonton kemudian “disajikan” dengan lomba perahu hias. Pelbagai perahu dengan desain menarik dan unik diikutsertakan. Usut punya usut, perahu ini berasal dari instansi pemerintahan dan swasta yang berada di lingkup Kota Palembang dan sekitarnya. 
Untuk penjurian, sangat berbeda dengan bidar. Jika bidar dinilai dari peserta yang tercepat, sedangkan perahu hias dinilai dari menarik dan kreatifnya bentuk perahu yang dilombakan.



Salah Satu Perahu Hias MIlik Disperindagkop
Sumber:  di sini

Mengulik Sejarah Bidar


Festival Bidar (biduk lancar) merupakan tradisi lomba perahu tradisional yang kerap kali dilakukan oleh penduduk Palembang dan sekitarnya di Sungai Musi. Biasanya dilaksanakan pada saat momen tertentu, seperti HUT Kemerdekaan Republik atau HUT Kota Palembang pada 17 Juni.
Menurut catatan sejarah, Festival Bidar lahir dari ragam versi. Versi pertama mengatakan, berasal dari zaman Kesultanan Palembang tempo dulu. Pada waktu itu, Palembang memiliki lebih dari 100 anak sungai dengan Sungai Musi sebagai induknya. Supaya keamanan di sekitar sungai tetap terjaga, kemudian Kesultanan Palembang membuat satuan patroli sungai dengan menggunakan perahu yang diberi nama pancalang.
Nama pancalang sendiri berasal dari kata pancal dan lang/ilang. Pancal berarti lepas, landas dan lang/ilang berarti menghilang. Jadi, jika diartikan, pancalang adalah perahu yang cepat menghilang. Melihat banyaknya pancalang yang ada, maka Kesultanan Palembang berinisiatif mengadakan lomba dayung. Pada masa ini, lomba dayung dinamai dengan kenceran dan sekarang lebih akrab disebut sebagai lomba bidar.

Festival Bidar         

Disamping sejarah dari versi Kesultanan Palembang, ada versi lain yang menyebutkan, jika sejarah bidar berasal dari zaman kolonial Belanda.  Di mana kala itu, lomba perahu bidar digelar setiap kali kolonial Belanda memperingati hari ulang ratunya atau para pejabat pemerintahan Belanda sedang melangsungkan pesta. Setiap bidar dipertandingkan pada zaman itu, tak hanya kalangan orang kompeni yang ramai menonton, tetapi pula warga lokal Palembang.
Terlepas dari banyaknya versi sejarah lahirnya bidar dan kapan pertama kali lomba perahu bidar dilaksanakan di Kota Pempek, masyarakat Palembang selalu antusias menanti lomba perahu bidar, baik yang dihelat saat kota ini merayakan ulang tahunnya atau ketika bulan kemerdekaan RI. Menariknya, meski zaman makin modern dengan beragam macam jenis hiburan dan permainan, tetapi Festival Bidar selalu ada dan memiliki tempat tersendiri  di hati masyarakat Kota Palembang.

Jenis Perahu Bidar
Seiring berkembangnya zaman, tampilan bidar sedikit berbeda dengan masa Kesultanan Palembang. Pada masa kini, terdapat dua jenis perahu bidar, pertama perahu bidar tradisional. Berbicara mengenai ukurannya, perahu bidar tradisional memiliki ukuran panjang 29 meter, tinggi 80 cm, dan lebar 1,5 meter. Jumlah pendayung 57 orang, terdiri dari 55 pendayung, 1 juragan perahu serta 1 tukang timba air.
Sementara, perahu bidar berprestasi memiliki ukuran  panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm, dan lebar 1,2 meter. Jumlah pendayung 24 orang, terdiri dari 22 pendayung, 1 juragan serta 1 tukang timba air.

Peserta Bidar Mengayuh dengan Cekatan
Sumber: tribunnews.com/
            Memasuki era modernisasi dan pembaharuan, perahu bidar saat ini bukan cuma terbuat dari kayu. Belakangan ada pula bidar yang dibuar dari bahan fiber glass. Selain bahannya ringan, bahan ini juga kuat sehingga lebih cocok digunakan untuk menjadi bahan pembuatan perahu bidar.  Uniknya, peserta lomba bidar tidak hanya dari kalangan laki-laki saja, melainkan saat ini ada juga yang berasal dari perempuan yang turut berpartisipasi.
Disamping sebagai tradisi tahunan yang diselenggarakan di Sungai Musi, Festival Bidar juga memiliki makna sebagai trasdisi untuk mengenang masa Kesultanan Palembang yang dimana saat itu perahu digunakan kali pertama sebagai sarana transportasi warga Palembang dan sekitarnya.

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers