Teman Lama


Kupandangi  rumah berlantai dua di seberang jalan itu. Rumah bercat biru langit dengan desain minimalis. Di depan halamannya, terpakir mobil mewah berwarna hitam metalik. Kalau kutaksir, harga mobil itu ratusan juta rupiah. Entah mengapa, setiap kali aku melintas di depannya, setiap kali pula aku selalu memandanginya. Jujur, aku iri dengan pemilik rumah itu. Meski sebenarnya, pemilik rumah itu adalah Iwan-teman es em pe ku.
Jika diingat-ingat kembali, Iwan bukanlah murid yang memiliki prestasi bagus di kelas. Setiap kali pelajaran matematika atau fisika, ia selalu mencontoh padaku. Ia juga jadi langganan terlambat kalau pergi ke sekolah. Pun dengan dandanannya. Jauh dari kata sempurna.
Tapi, ketika kusua ia tiga hari kemarin di sebuah rumah makan dengan rekan kerja atau bisnisnya, ia berubah seratus delapan puluh derajat. Penampilannya necis. Sepatunya mengkilat. Gaya rambutnya modern. Aku benar-benar kaget dengan dandanannya kini. Ketika wajah kami beradu, ia langsung membuang muka. Aku hanya menelan ludah. Sepertinya ia tak sudi melihatku yang hanya berprofesi sebagai teknisi AC.
Langit perlahan makin perlahan berubah menjadi merah tembaga. Senja mulai turun. Kupercepat langkah kakiku menuju rumah. Aku tak sabar bertemu Dodi, anakku.

***
Malam ini, aku dan Lena, istriku dilanda kebingungan. Pasalnya Dodi jatuh sakit. Badannya makin panas. Ia menggigil. Padahal kata Lena, siang tadi ia sudah memberikannya obat panas. Aku pun kian bingung lantaran uang simpanan kami tidak ada lagi. Kemarin kami baru saja membayar sewa rumah dan bayar listrik. Menunggu gaji bulanan masih empat hari lagi. Maka, kuputuskan untuk menggadaikan cincin yang dipakai Lena. Hanya itu jalan satu-satunya. 
Kemudian kudatangi rumah Bu Wati, tukang kredit yang ada di dekat lapangan sepak bola. Namun sesampainya di rumahnya, tak kutemui ia. Saat kutanya dengan anaknya, ia sedang menjenguk kakaknya di rumah sakit.
Aku semakin khawatir dengan kondisi Dodi. Tiba-tiba benakku melintas nama Iwan. Kucoba meminta pertolongan Iwan. Secepatnya aku menuju rumahnya. Dengan sedikit gugup, kuketuk pagar rumahnya-seorang wanita yang membukakannya. Kutahu, itu adalah istrinya, Wulan.
“Ada keperluan apa, Mas Darmo?” tanya Wulan.
“Eee… Anu….,” jawabku sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ayo Mas, masuk dulu. Kita bicarakan di dalam saja!” ajak Wulan.
Semenit berlalu. Kini aku sudah duduk di sofa. Sedang Wulan pergi ke dapur. Mungkin, ia hendak mengambil air minum untukku. Aku menduga-duga. Perlahan kuedarkan pandangan ke segala penjuru yang ada di ruangan ini. Aku terkagum-kagum dengan isi rumah Iwan. Lukisan, lemari kaca, kursi yang sedang kududuki, bila kutaksir harganya bisa puluhan juta rupiah.
Tak berapa lama, Wulan muncul dengan membawa nampan yang berisi segelas sirup berwarna merah. Lalu Diletakkannya segelas sirup itu dihadapanku.
“Ayo Mas, diminum sirupnya!” perintahnya padaku.
“Terima kasih, Lan!”
Perlahan kutegak sirup itu, lalu kuletakkan lagi.
“Mana suamimu, Lan?” tanyaku basa-basi.
“Mas Iwan belum pulang. Katanya masih lembur,” jawab Wulan.
“Ooo… Baguslah kalau begitu!”
“Kalau Wulan boleh tahu, ada keperluan apa ya Mas Darmo datang kemari?” tanya Wulan padaku agak hati-hati.
“Anu, Lan. Mas.… Mas ingin menggadaikan ini!” sahutku tersendat sambil menunjukkan cincin padanya.
Wulan mengambil cincin itu, lalu diperhatikannya. Lama.
 “Tunggu sebentar ya Mas, Wulan permisi ke dalam,” sahutnya kemudian.
Aku semakin gelisah. Aku terus terbayang wajah Dodi. Sambil menunggu Wulan, kembali kuteguk sirup rasa stroberi yang ada di hadapanku sesekali mengamati isi rumah ini.
Sejurus kemudian, Wulan keluar dari kamarnya. Aku tersendak kaget.
“Wulan!” jawabku gelagapan.
“Ya, Mas Darmo,” sahutnya pelan.
Mas, ini cincinnya Wulan kembalikan. Ini Wulan ada sedikit uang untuk berobat anaknya. Ambillah, Mas!
Aku diam sebentar. Sekilas kutatap wajah Wulan. Wajah tedu berparas rembulan purnama. Sebenarnya aku malu untuk mengambilnya, namun harus bagaimana lagi? Dengan sedikit malu, akhirnya kuambil uang yang ada di tangannya.
“Terima kasih banyak Lan, telah menolong Mas! Semoga amal kebaikanmu dibalas oleh Gusti Allah,” ujarku sambil mengambil uang tersebut.
Wulan tersenyum. Hanya tersenyum.
Setelah uang kudapat, aku pun permisi pulang. Kembali kuucapkan salam beriring kata terima kasih banyak kepada Wulan. Ya, hanya kata terima kasih banyak yang bisa kuucapkan padanya.
Tiba di rumah, secepatnya kubawa Dodi ke klinik dengan menumpangi becak. Sesampai di sana, kulihat antrian tak terlalu ramai. Beruntung, Dodi cepat ditangani dokter yang praktek malam ini. Dokter mendiagnosa Dodi hanya menderita demam biasa. Kekhawatiranku pun perlahan lenyap.
Setelah diberi obat oleh dokter, secepatnya kami keluar klinik. Tiba-tiba langkah kami terhenti. Aku dan Lena melihat Iwan dengan seorang wanita keluar dari toko roti di seberang jalan. Mereka tampak begitu mesra. Iwan merangkul wanita itu dengan manjanya. Meski umur wanita itu agak tua, namun penampilannya keren. Lebih modis. Jauh dari gaya Wulan yang amat sederhana. Seketika benakku diburu dengan beragam pertanyaan. Mungkinkah Iwan selingkuh? Atau ia telah menikahi wanita itu tanpa sepengetahuan Wulan? Entahlah. Aku hanya bisa menghela nafas.

***
“Mas Darmo, barusan manajemen hotel langganan kita menelepon. Katanya ada beberapa ac kamar mereka yang rusak. Mereka minta untuk secepatnya diperbaiki!
“Terima kasih, Ka!” jawabku pada Rika, receptionis perusahaan tempatku bekerja.
Gegas kupersiapkan perlengkapannya. Beginilah aku setiap hari bekerja sebagai teknisi ac. Sebenarnya ada keinginan untuk membuka sendiri, tapi aku terhalang dengan modal. Ya, modal. Aku tak berani mengambil resiko. Meninjam uang di bank atau menggadai sertifikat tanah atau rumah. Untuk membeli motor saja, sampai kini aku belum mampu!
Setelah perlengkapannya siap, maka aku dan Rinto, rekan kerjaku langsung menuju hotel dengan mengendarai sepeda motor. Dengan hati-hati Rinto memboncengku. Angin tak henti-hentinya menampar wajah kami.
Lima belas kemudian, kami pun sudah sampai di hotel berlantai tiga dengan kapasitas 50 kamar itu. Setibanya di sana, kami langsung diantar oleh salah seorang karyawan menuju kamar yang ac-nya hendak diperbaiki.
Perlahan kami menuju kamar itu di lantai II. Saat kami naik ke lantai dua, tiba-tiba mataku tertumbuk dengan seorang laki-laki yang amat kukenal dengan seorang wanita. Laki-laki itu tak lain adalah teman SMP-ku sekaligus tetanggaku. Ya, tak salah lagi laki-laki itu Iwan. Tapi kali ini, wanita yang bersamanya berbeda dengan yang kulihat di rumah makan atau toko roti kemarin. Dandanannya tebal. Umurnya lebih tua dari Iwan. Gelang yang melingkar di pergelangan tangan wanita itu menunjukkan ia orang berada. Iwan gelagapan. Buru-buru ia menuruni anak tangga.

***
Hari ini, aku mendapat tugas dari perusahaan untuk memperbaiki ac di sebuah rumah sakit. Lama aku menunggu. Untuk mengusir kejenuhanku, kuraih koran yang tergeletak di atas maja, lalu kubaca perlahan rubrik yang ada di sana. Ketika di rubrik kriminal, aku pun semakin tertarik untuk membacanya. Kubaca headline di koran yang terbit hari ini: Istri Pengusaha Kedapatan dengan PIL. Disampingnya tertampang wajah keduanya yang disamarkan.

Tertarik aku membaca headline news itu. Perlahan kubaca isinya. Beberapa menit kemudian, keningku berkerut. Jantung berdetak hebat. Aku tak bisa berkata-kata. Bibirku kelu. Tiba-tiba benakku langsung terbayang wajah Wulan yang sederhana. Semoga Wulan sabar menghadapi cobaan ini, bisikku dalam hati.

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers