Mengintip Munggah di Balik Limas
Dua tahun yang lalu, masih membekas di benak, Kurnia Apriyanti (Nia) binti Kgs. Ahamd Yusuf – tetanggaku melepas masa lajangnya dengan lelaki tambatan hatinya. Ia menjalani prosesi pernikahannya dalam balutan Adat Istiadat Palembang. Meskipun zaman telah memasuki babak serba praktis, tetapi tidak membuat kedua orangtua Nia terkontaminasi. Ia tidak ingin seperti sebagian masyarakat Palembang lainnya yang perlahan mulai meninggalkan adat-istiadat tersebut. Mereka tetap mempertahankan budaya luhur itu. Mereka ingin menjadi penerus bangsa yang patuh yang tetap melestarikan budayanya. Mereka tak ingin budaya ini tergerus zaman lalu hilang begitu saja.
Di bawah ini, telah kurangkum prosesi demi prosesi rangkaian adat pernikahan yang dilalui Nia. Tergambar jelas, bagaimana kekompakan, kebersamaan, keelokan budaya yang indah, dan keagungan dalam setiap tahapan demi tahapan yang kita saksikan. Dijamin, kita akan terpana dan terkagum-kagum.
Jumat, 9 September 2011
Pagi ini, di dapur limas1 yang cukup besar itu, beberapa ibu paruh baya mengenakan daster dengan kepala ditutup kerudung tengah melaksanakan tradisi Ngocek Bawang Kecik2. Sembari mengobrol, tangan mereka dengan lincah mengupas beragam bumbu dapur. Ada bawang putih, bawang merah, jahe, lengkuas, kunyit, dan lain-lain. Lusanya atau Ahad, tepatnya 11 September 2011 – Nia akan menjalankan prosesi munggah (acara puncak pernikahan).
Ketika para ibu-ibu sibuk mengupas dan menghaluskan bumbu dapur, di depan limas Nia ada beberapa lelaki paruh baya sedang memasang tenda tanpa panggung. Pasalnya di tempatku tidak ada lapangan yang luas. Manalagi, jarak satu ke rumah lainnya di kampung kami sangat berdekatan. Jadi, untuk memasang panggung, rasa-rasanya sangat mustahil. Ketika para lelaki itu memasang tenda, dua orang wanita muda membawakan makanan dan minuman. Satu membawa nampan berisi makanan, seperti godo-godo3 dan pempek. Sedang nampan satu lagi berisi air kopi dan air putih biasa dan cangkirnya.
Tak terasa, waktu sholat Jumat pun tiba. Gegas aku pulang ke rumah, lalu mandi dan menuju ke Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II. Menurut catatan sejarah, masjid ini merupakan masjid terbesar dan tertua di Kota Palembang. Selepas menunaikan sholat, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku ingin membeli gulo puan, makanan kesukaanku sejak kecil. Gulo puan adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari gula yang dicampur susu kerbau. Warnanya kuning kecokelatan. Dewasa kini, pedagang gulo puan hanya dapat dijumpai di halaman Masjid Agung SMB II Palembang.
Kulewati beragam pedagang yang ada di halaman masjid. Seperti Jumat biasanya, memang di halaman masjid selalu saja ramai diwarnai dengan beragam pedagang. Ada pedagang peci, sarung, kaus kaki, sepatu, sandal, aksesoris, hingga kuliner khas Palembang. Sesampai di muka pedagang gulo puan, kutukar uang 20 ribu yang kupunya dengan ¼ kilogram gulo puan. Beberapa temanku sempat mengatakan kalau harga gulo puan mahal, tetapi bagiku tidak. Karena bagiku rasa yang ditawarkan gulo puan sangat memikat lidah. Jadi, wajar saja kalau harganya dibanderol mahal. Gulo puan sangat tepat jika disajikan bersama roti atau pisang. Tetapi tidak sedikit juga penduduk Palembang mengonsumsinya secara langsung. Setelah kudapat gulo puan, aku pun beranjak pulang menuju rumah.
Siangnya, sekitar pukul dua siang – aku kembali melangkahkan kaki ke rumah Nia. Jarak rumahku dengan rumah Nia hanya dipisahkan satu rumah. Aku dan Nia telah bertetangga sejak tiga puluh tahun silam. Tidak heran, kalau keluargaku dan keluarga Nia sudah seperti keluarga sendiri. Siang ini, aku hendak melihat Nia melakukan ritual betanges/betangas. Ritual kali ini menurutku cukup menarik. Nia hanya menutupi tubuhnya dengan kain kecuali wajahnya saja yang terlihat.
Kemudian, Nia duduk di atas kursi yang dibawahnya telah disediakan rebusan ramuan rempah-rempah. Kata Mak Emoh, yang menangani prosesi ini – betanges/betangas bertujuan untuk membersihkan pori-pori kulit dan mengeluarkan keringat sehingga pada pelaksanaan munggah dan lainnya diharapkan si calon pengantin tidak banyak mengeluarkan keringat yang menimbulkan bau tidak sedap.
Usai betanges/betangas, lalu Mak Emoh memacari (memberi inai) pada kuku kaki dan tangan Nia serta mengukir telapak tangan dan punggung kaki Nia dengan inai. Dalam kehidupan masyarakat Palembang, memakai pacar (inai) menggambarkan bahwa si calon pengantin akan memasuki kehidupan baru sebagai pasangan rumah tangga. Ternyata kata Mak Emoh, calon suami Nia juga melakukan ritual betanges/betangas dan memakai inai di kediamannya.
Sabtu, 10 September 2011
Selepas subuh, tepatnya jam enam – seorang pengayuh becak menuju belakang rumah limas itu. Ia membawa satu setengah pikul daging ayam atau berisi 150 ekor ayam yang telah dibersihkan. Beberapa menit kemudian, datang dua becak lagi. Di salah satu becak, ada Yuk4 Dewi, kakak perempuan Nia. Dua becak itu mengangkut berbagai bahan makanan, seperti daging sapi, sayur-sayuran, buah, bumbu tambahan, dan lain sebagainya. Hari ini, akan diadakan tradisi Ngocek Bawang Besak5.
Tak lama kemudian, satu persatu tetangga yang rata-rata ibu-ibu mulai melangkah menuju dapur limas Nia, termasuk ibuku. Ada pula yang melangkah ke belakang limas. Di sana, telah di pasang terpal plastik. Masing-masing ibu-ibu itu membawa pisau. Anda jangan berprasangka buruk dulu. Pisau tersebut bukan untuk digunakan sebagai alat kejahatan. Tetapi untuk membantu kegiatan potong-memotong. Para ibu bergotong royong alias bahu membahu memasak menu makanan yang akan disantap pada saat munggah besok.
Suara pisau saling beradu memecah kesunyian pagi. Mendekati jam sepuluh, suasana semakin ramai oleh para ibu. Mereka berbagi tugas. Ada yang memotong daging ayam dan daging sapi. Ada yang mengiris buncis, wortel, dan sayuran lainnya. Ada yang membuat kue basah khas Palembang, seperti 8 jam, maksuba, dan lain sebagainya. Ada yang ditugaskan di bagian penggorengan. Ada pula yang menyiapkan menu makanan untuk disantap bersama siang ini.
Di tempat berbeda, tepatnya di tingkatan ketiga (paling bawah) limas – beberapa keluarga dekat Nia termasuk diriku menyiapkan, mengelap, dan menyusun pelbagai peralatan makan, mulai dari piring, sendok, garpu, dan lain sebagainya yang digunakan untuk besok. Dengan cekatan kami bekerja. Dari kejauhan, harum bumbu menusuk hidung-hidung kami. Membuat perut kami menjadi lapar.
Ketika malam menjelang, waktunya untuk muda-mudi. Di tingkatan ketiga dan kedua limas Nia, aku dan para muda-mudi lainnya telah berkumpul. Malam ini akan ada pembentukan panitia sekaligusMasang Dekorasi6. Kami berbagi tugas. Suanda Isma, dan Fajri membentuk kertas warna-warni itu menjadi sulur-sulur yang indah. Aku dan Bang Arul berbagi tugas membuat tulisan SELAMAT DATANG yang dibentuk dan dihias sedemikian rupa. Sedang Ebi, Tiara, Ina, Anggi, dan Lia membuat bendera dari kertas warna warni yang telah disediakan. Setelah bendera dibuat, maka ujungnya akan dilem di sebuah batang bambu kecil dan diberi uang. Jumlahnya ada sekitar 40 bendera. Sementara di tingkatan limas teratas, para lelaki yang rata-rata sudah beristri bergotong royong memasang kursi pelaminan.
Saat kami tengah asyik bekerja, ibu Nia menyembul dari balik pintu membawakan kami pempek dan tekwan dos (tekwan tanpa ikan) beserta minuman. Tetiba cacing-cacing di perutku ikut lapar – mengisyaratkan untuk segera menyantap makanan yang ada. Canda tawa menghiasi malam kami. Mata ngantuk pun hilang seketika. Empat jam berlalu. Tugas kami melakukan prosesi Masang Dekorasi selesai sudah. Malam ini, tampak rumah Nia menarik dengan hiasan demi hiasan yang menggantung di sudut rumah.
Ahad, 11 September 2011
Selepas subuh, Kak Yon – kakak sepupu Nia memasang bendera merah putih di depan lorong sebagai simbol pemberitahuan kalau ada orang yang tengah menggelar pernikahan. Sementara di limas – kediaman Nia, beberapa sepupu dan kakak laki-laki Nia menggelar permadani. Mendongak ke sudut teras limas yang lebar itu, pemilik orkes melayu sedang mengatur alat musik. Sedang, di belakang limas Uak Majid, tetangga Nia – dua orang laki-laki tengah memasak nasi minyak dalam jumlah yang banyak.
Hari ini merupakan munggah pernikahan Nia. Pada prosesi ini, kita akan melihat dari dekat beragam prosesi, mulai dari seserahan gegawaan, akad nikah, arak-arakan pengantin, naek jerambah, suap-suapan, cacap-cacapan, hingga santap siang dengan menggunakan ala idangan. Karena aku terlibat sebagai panitia, maka aku pulang dulu. Bersiap mengenakan baju batik dan tanjak7 yang telah diberi keluarga Nia tadi malam.
Seserahan Gegawaan
Sebelum jam delapan, para anggota keluarga Nia telah bersiap menunggu kedatangan calon pengantin lelaki berserta rombongan keluarganya. Di sepanjang jalan, dari lorong hingga limas Nia, mereka telah berdiri. Para kaum adam paruh baya telah menggunakan jas hitam celana hitam dibalut tanjak di atas kepalanya. Ada pula diantara mereka menggunakan baju koko dipadu sarung tajung, sarung khas Palembang. Sedangkan, kaum hawa berdandan cantik mengenakan kebaya dipadu songket khas Palembang sebagai bawahannya. Ada yang menggunakan hijab. Ada pula yang disanggul. Tidak ketinggalan, aku pun ikut menyambut kedatangan tamu.
Beberapa menit kemudian, calon pengantin lelaki beserta rombongan keluarganya datang. Dengan sigap, kami menyambut mereka dengan hangat lagi ramah. Mereka membawa gegawaan8 yang telah dihias sedemikian rupa. Perlahan semakin perlahan mereka berjalan menuju limas yang besar itu. Sesampai di muka pintu limas, lantas calon pengantin lelaki beserta rombongan keluarganya disambut oleh kedua orangtua Nia dan sesepuh kampung kami. Kemudian, rombongan pengantin lelaki dipersilakan masuk memenuhi limas.
Gegawaan yang telah dibawa diletakkan di tingkatan teratas limas untuk difoto dan dilihat-lihat. Kalau kulihat dan kuhitung, jumlah gegawaan yang dibawa ada 24 buah nampan. Masing-masing 12 nampan berisi kebutuhan makan, seperti susu, gula, kecap, tepung terigu, telur, sirup, dan lain-lain. Sementara, 12 nampan lainnya berisi perlengkapan pengantin perempuan, seperti kosmetika, pakaian, kain songket, sepatu, sandal, dan lainnya. Oh ya, mereka juga membawa mas kawin berupa kalung yang ditaruh di sebuah kotak dan ketan kunyit panggang ayam sebagai menu pada prosesi suap-suapan.
Tidak lama berselang, ketib (penghulu) pun datang. Itu artinya, acara akad nikah akan segera dimulai. Rupanya sebelum digelar acara akad nikah, dilakukan dulu prosesi seserahan gegawaan. Adapun prosesi ini, pertama seorang laki-laki yang dituakan dari pihak calon pengantin lelaki berdiri, memberi kata sambutan dan ucapan terima kasih. Setelah itu, giliran dari pihak calon pengantin perempuan membalas kata sambutan itu. Sesudahnya, ibu dari calon pengantin laki-laki mengambil salah satu diantara gegawaan yang ada lalu menyerahkannya kepada ibu calon pengantin perempuan. Mereka lantas bersalaman dan saling berpelukan.
Karena Nia memiliki 2 (dua) kakak laki-laki yang belum menikah, maka sebelum dilaksanakan akad nikah, calon pengantin laki-laki memberikan sebuah bingkisan kepada keduanya. Dalam kepercayaan adat Palembang, bingkisan tersebut sebagai simbol pelangkah agar jodoh keduanya semakin dekat.
Akad Nikah
Aku menarik nafas, lega. Akhirnya prosesi akad nikah akan dimulai. Sungguh, prosesi satu ini sangat ditunggu-tunggu oleh tamu yang hadir, termasuk diriku. Selain sakral, barang siapa yang berdoa saat akad nikah digelar, maka doanya akan terkabul. Seorang pembawa acara mulai mengumumkan kalau akad nikah akan segera digelar. Di tingkatan limas teratas, calon pengantin laki-laki telah berhadapan dengan ketib dikelilingi ayah, calon mertuanya, dan para saksi. Sementara di tingkatan kedua limas, terlihat para tamu dari jemaah surau dan keluarga dekat kedua belah pihak pengantin duduk menyimak akad yang dilangsungkan.
Sengaja, Nia tak disandingkan dengan calon suaminya di tingkatan limas teratas. Dalam Islam dan Adat Palembang, hal itu tidak dibenarkan. Calon pengantin laki-lakinya tampak gagah mengenakan jas hitam yang dibalut celana hitam. Pada celana hitamnya, dililitkan kain songket berwarna merah dan dikepalanya mengenakan tanjak. Ketika akad telah dimulai, gegas aku memanjatkan doa dalam hati, berharap impianku lekas terkabul.
Arak-arakan Pengantin & Naek Jerambah
Satu jam terlewati, rangkaian acara akad nikah pun disudahi. Kini, kedua pengantin itu telah resmi menjadi pasangan suami-istri. Setelah akad nikah berakhir, saatnya prosesi arak-arakan pengantin dilakukan. Namun sebelumnya, pengantin laki-laki didandani dengan memakai Aesan Gede9 terlebih dulu. Sedang Nia, telah lebih dulu didandani sejak sebelum akad nikah.
Sembari menunggu pengantin lelaki dihias, tamu yang hadir dipersilakan untuk mengambil menu yang telah disiapkan. Sederet kuliner Palembang telah tersedia di atas meja, seperti laksan, kemplang, ada juga beberapa kue khas Palembang, seperti kue 8 jam, maksuba, dan srikaya ketan. Tampak besan dan tamu yang hadir enikmati kudapan itu.
Setelah dihias, pengantin lelaki lalu dibawa keluar dari kamar. Ia hendak diarak dengan iringan syarofal anam10 berjarak 50 meter dari limas Nia. Tak lupa, bendera-bendara yang telah kami buat semalam dibawa keluar juga. Sementara Nia tidak diarak. Ia tetap menanti di kamar pengantin. Inilah adat Palembang yang harus ia taati.
Saat prosesi arak-arakan, pengantin laki-laki diapit oleh dua kerabat dekatnya. Sementara di belakangnya ada dua orang pembawa tombak, seorang pembawa payung pengantin, dan seorang pembawa bunga langsir11. Dan di paling belakang, ada Mang Yanto sebagai pembawa puluhan bendera warna-warni yang telah diselipkan uang pada ujungnya.
Perlahan semakin perlahan, tabuhan rebana diselingi lantunan sholawat dari kesenian syarofal anam terus mengiringi arak-arakan pagi menjelang siang itu. Arak-arakan berjalan pelan menuju ke kediaman pengantin perempuan. Anak-anak kecil, remaja, dewasa, dan tua rela berdesakan menyaksikannya. Setelah setengah perjalanan, kemudian puluhan bendera warna-warni yang dibawa Mang Yanto menjadi rebutan orang yang menyaksikan.
Lantas, sesampai di depan limas, pengantin laki-laki mendapatkan siraman beras kunyit. Dan ketika pengantin laki-laki telah tiba di muka pintu masuk, ibu pengantin perempuan menyelempangkan kain songket ke pundak pengantin laki-laki.
Berikutnya, pengantin laki-laki akan menjalankan prosesi naek jerambah. Bagiku prosesi ini cukup unik. Si pengantin laki-laki berjalan pelan-pelan di atas kain panjang yang telah digelar dari pintu masuk sampai ke pintu kamar pengantin. Sambil berjalan, ia pun membawa bunga langsir. Keyakinan yang berkembang di kehidupan masyarakat Palembang, jika tidak membawa bunga langsir, maka pengantin laki-laki tidak akan dapat masuk ke rumah pengantin perempuan.
Setelah sang pengantin perempuan menerima bunga langsir, maka keduanya akan melaksanakan prosesi suap-suapan dan cacap-cacapan.
Prosesi Suap-suapan Cacap-cacapan
Dengan langkah pelan, kedua pengantin keluar dari kamar dan berjalan menuju ke tingkatan limas teratas dituntun masing-masing bibi kedua mempelai. Sayang, sebagian masyarakat Palembang sering mengabaikan kedua prosesi ini lantaran memakan waktu. Untuk mengawali kedua ritual ini, pengantin didudukbariskan di tengah rumah dilapisi kasur lihab, kasur khas Palembang ukuran kecil. Kasur dilambangkan sebagai simbol bahtera yang akan mengantarkan kedua mempelai menuju pulau harapan. Tak jauh dari mempelai didudukbariskan, sepiring ketan kunyit panggang ayam dan semangkuk air tujuh rupa telah siap. Setelah itu, prosesi suap-suapan dan cacap-cacapan siap dilaksanakan.
Pembawa acara mulai bersuara, memberitahu prosesi suap-suapan dimulai. Pembawa acara yang mengenakan hijab itu berturut-turut memanggil ibu pengantin laki-laki, ibu pengantin perempuan, nenek pengantin laki-laki, nenek pengantin perempuan, bibi pengantin laki-laki, dan bibi pengantin perempuan. Memang, dalam prosesi suap-suapan yang harus menyuapkan ketan kunyit panggang ayam adalah kaum Hawa, dari kedua belah pihak pengantin.
Perlahan, ibu pengantin laki-laki mengambil sejumput ketan kunyit dan daging ayam, kemudian menyuapkannya kali pertama kepada mempelai perempuan. Lantas separuh sisanya, ia berikan kepada mempelai laki-laki (anaknya sendiri). Begitu pula sebaliknya yang harus dilakukan oleh ibu mempelai perempuan. Hal ini mengisyaratkan bahwa rezeki yang didapat kedua mempelai tidak akan pernah putus.
Dalam kepercayaan masyarakat Palembang, prosesi ini memiliki arti bahwa berakhirnya tanggung jawab orangtua untuk memberikan nafkah dikarenakan sang anak dianggap sudah dewasa. Namun, dalam memberikan nasehat dan wejangan, tugas orangtua tidak pernah berakhir. Tetap berjalan seperti biasanya. Menariknya, perempuan yang bertugas menyuapkan harus berjumlah ganjil, bisa 3, 5, 7, bahkan 9.
Usai prosesi suap-suapan, berikutnya sang pembaca acara memberitahu tibalah saatnya prosesi cacap-cacapan. Kali ini, sang pembawa acara memanggil ayah, kakek, paman, dan kakak lelaki dari masing kedua mempelai. Ayah Nia mulai mengusapkan air bunga tujuh rupa ke kepala pengantin laki-laki kemudian diteruskan ke Nia, anakanya. Begitu pula sebaliknya yang harus dilakukan oleh ayah pengantin laki-laki.
Prosesi cacap-cacapan melambangkan doa dan nasehat kepada kedua mempelai untuk selalu berpikir jernih sebening air, berpikir positif bercita-cita tinggi, dan selalu menjaga nama baik seindah dan seharum bunga setaman. Terakhir, kedua acara tersebut ditutup dengan doa. Kali ini, yang membawakan doa adalah seorang perempuan tua.
Oh ya, selama pihak keluarga dari kedua belahpihak melakukan prosesi suap-suapan dan cacap-cacapan, selama itu pula seorang ibu paruh baya melantunkan pantun berbahasa Palembang. Pantun tersebut berisi petuah dan nasehat untuk kedua pengantin dalam mengarungi biduk rumah tangga kelak. Selanjutnya, kedua pengantin dibimbing menuju pelaminan tak jauh dari tempat mereka didudukbariskan.
Pembacaan Kitab Al Barzanji
Ketika kedua mempelai duduk di pelaminan setelah acara suap-suapan dan cacap-cacapan, bersamaan itu digelar pembacaan Kitab Al Barzanji di rumah Haji Uti, seorang tetangga. Rumah Haji Uti persis di samping limas Nia. Limas Nia sudah penuh sesak. Jadi, tidak bisa menampung tamu-tamu yang terus berdatangan.
Sebenarnya bukan hanya rumah Haji Uti yang digunakan untuk menampung para tamu. Tetapi juga rumah Yai Hasyim. Jadi, ketika rumah Haji Uti telah dipadati tamu, para tamu bisa menuju rumah Yai Hasyim yang bersebelahan dengan rumah Haji Uti. Hampir tamu-tamu yang hadir adalah kaum Adam.
Dengan menggunakan pengeras suara, sang ketua pemimpin surau mulai melantunkan Kitab Al Barzanji dan ditimpali tamu yang hadir. Sesudah itu, acara diteruskan dengan tausiah agama yang disampaikan seorang ustadz. Kali ini, sang ustadz menyampaikan tausiyahnya di limas Nia. Beliau menerangkan tentang bagaimana enaknya berumah-tangga, tentang hak dan kewajiban suami-istri, dan sejumlah keterangan lainnya diselipkan humor-humor segar. Karena waktu santap siang kian mendekat, maka sang ustadz lekas mengakhiri tausiyahnya dan menutupnya dengan doa. Acara pun dilanjutkan dengan santap siang dan hiburan.
Santap Siang
Pada acara santap siang, kita akan menemukan hal menarik. Keluarga Nia menyuguhkan santap siang kepada besan dan tamu yang hadir menggunakan cara idangan. Sebetulnya sistem atau cara tersebut hampir sama dengan cara makan di daerah Timur Tengah, tetapi lebih bersih karena tetap memakai piring masing-masing. Dan, cara menyantapnya dengan menggunakan tangan. Hal ini mengikuti sunah Rasulullah, mengingat mayoritas penduduk Palembang memeluk agama Islam.
Menurutku, cara ini begitu unik. Tamu yang hadir harus membuat kelompok berjumlah delapan orang lalu mengelilingi menu-menu yang telah disediakan. Namanya Palembang, maka menu makanan yang disediakan berciri Palembang pula. Mulai dari nasi minyak, malbi, ayam kecap taburan cabe ijo, sambal goreng, sate pentol, pulur (sebutan untuk buah pencuci mulut dan sambal), dan srikayo.
Sebelum para besan dan tamu menyantap menu yang telah dihidangkan, para tamu terlebih dulu mencuci tangannya. Menariknya, tangan-tangan tamu akan dicuci oleh orang yang telah membawa cerek berisi air dan baskom kecil. Cara menghidangkan makanan ala Palembang ini mengandung makna bahwa manusia itu harus saling menjunjungi tinggi persaudaraan, mempererat tali silaturahim, dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan antar sesama.
Memasuki jaman yang telah modern, kini idangan sudah sangat jarang ditemukan pada tradisi pernikahan di Palembang. Walaupun ada, kita hanya bisa menjumpainya pada pemukiman lama yang di situ masih banyak dihuni oleh keturunan Palembang. Kebanyakan kini, penduduk telah beralih dengan menggunakan sistem prasmanan yang praktis dan tidak memakan waktu.
Selama para besan dan tamu melakukan santap siang, di teras sudut – seorang biduan dari orkes melayu terus mendendangkan lagu demi lagu nan syahdu. Pakaian biduannya pun sangat tertutup, rapi.
Senin, 12 September 2011
Perayaan
Sekitar pukul 9 pagi, di dapur limas Nia dipenuhi tetangga perempuan, termasuk ibuku ada di sana. Mereka akan bergotong royong membuat tekwan untuk perayaan yang digelar siang hingga menjelang sore nanti. Ada pula yang tengah membuat kue khas Palembang sebagai tambahan. Sebenarnya stok kue yang telah dibuat Sabtu kemarin ada, namun Ibu Nia bilang sebagai tambahan. Sambil berceloteh, tangan mereka tak henti bekerja. Sesekali menyeruput es kacang abang, es khas Palembang dan mencocol pempek ke mangkuk berisi saus cuka.
Sementara di tingkatan paling bawah limas, disulap oleh keluarga Nia sebagai tempat penyajian makanan. Meja panjang telah disusun untuk menaruh makanan-makanan yang akan disuguhkan pada tamu. Sementara pelaminan tetap bertahan di tingkatan teratas limas.
Seusai santap siang, Nia dan suaminya didandani oleh penata rias yang kebetulan masih sepupunya. Pada hari ini, Nia akan mengenakan slayer putih. Sedang, suaminya mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam dipadu celana hitam.
Tepat jam dua, Nia dan suaminya telah duduk di pelaminan. Sedangkan, di balik meja panjang berisi makanan itu berdiri beberapa bibi Nia mengenakan kebaya dan songket dengan kepala mengenakan sanggul. Mereka ditugaskan untuk menjaga makanan. Di meja itu telah tersedia tekwan, kemplang, air mineral, dan kue-kue basah, seperti kue maksuba, 8 jam, engkak ketan, dan srikayo. Di bawah tangga limas, keponakan dan sepupu perempuan Nia bertugas menjaga meja kado. Mereka pun mengenakan kebaya dengan bawahan memakai songket.
Perlahan demi perlahan tamu mulai berdatangan. Kali ini, hiburan yang mengiringi bukan orkes melayu tetapi musik rebana dari ibu-ibu. Maklum tamu yang datang pada prosesi perayaan hampir rata-rata kaum perempuan, mulai dari remaja hingga tua. Tamu yang datang ada yang mengenakan kebaya. Ada juga yang menggunakan baju muslimah.
Lewat jam 4 sore, tamu-tamu yang hadir semakin ramai. Tamu remaja membawa kado. Sedangkan tamu ibu-ibu yang telah berumah tangga memberikan salam tempel pada ibu Nia. Hampir mendekati waktu maghrib, prosesi perayaan pun selesai digelar. Nia mendapatkan banyak kado dari teman-temannya. Kado-kado itu kemudian dimasukkan ke dalam kamar pengantin.
Ratib dan Tahlil
Sebagai umat muslim, tentunya, selepas isya – ayah Nia mengundang jemaah surau untuk membacakan ratib dan tahlil. Acara ini menyimbolkan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT karena telah memperlancarkan segala urusan sehingga acara demi acara berjalan dengan baik. Selain itu, digelarnya acara ini untuk mengenang dan mengirimkan doa bagi keluarga yang telah meninggal. Makanan yang disajikan kepada jemaah pun sama seperti makanan yang disajikan pada prosesi perayaan.
Setelah itu, acara diteruskan dengan pembukaan kado. Beragam kado yang didapat Nia, mulai dari handuk, cangkir, gelas, piring, kompor gas, kipas angin, jam dinding, bingkai, pakaian, dan lain sebagainya. Semua kado itu tak lantas dimiliki oleh Nia. Beberapa kado ia berikan kepada tetangga dan sanak-saudara yang telah berkorban tenaga dan pikiran membantu menyukseskan resepsi pernikahannya, mulai dari munggah hingga perayaan.
Itulah penggalan demi penggalan acara pernikahan dengan menggunakan adat Palembang yang dapat kubingkai melalui kata-kata. Rasanya aku bersyukur memiliki tetangga seperti Nia. Walaupun zaman semakin maju, namun orangtuanya tetap bertahan dengan budayanya. Meski lelah menguras tenaga, biaya, dan pikiran, namun lelah itu terbayar dengan rasa gembira yang luar biasa. Hal itu terpancar jelas pada wajah kedua orangtuanya. Sebuah pencapaian luar biasa yang patut diapresiasi!
CATATAN;
- Limas : Rumah adat Palembang, Sumatera Selatan yang biasanya terbuat dari kayu lama. Bentuknya besar. Di dalam limas, terdapat beberapa ruang yang bertingkat-tingkat. Setiap tingkatan, memiliki ruang yang cukup luas. Tetapi ada pula limas yang dibangun dengan bentuk ruangan yang rata/sejajar.
- Ngocek Bawang Kecik : Prosesi menyiapkan segala bahan masak yang ringan untuk keperluan pernikahan, seperti persiapan mengupas dan menghaluskan bumbu-bumbu dapur, pemasangan tenda, dan lain-lain. Dalam kebiasaan masyarakat Palembang, ritual ngocek bawang kecik dilakukan dua hari sebelum acara munggah.
- Godo-godo : Kuliner khas Palembang yang terbuat dari tepung terigu yang ditambah telur. Kadang dibubuhi udang lalu digoreng. Sangat enak disantap dengan kuah pempek (saus cuka)
- Yuk : Panggilan kepada perempuan lebih tua
- Ngocek Bawang Besak : Prosesi yang dilaksanakan sehari menjelang acara puncak pernikahan (munggah). Kegiatannya mulai dari memproses bahan makanan mentah dalam jumlah besar, semisal 100-200 ekor ayam, satu peti telur, 30 kg daging sapi, 1 kwintal beras, dan lain-lain menjadi sebuah menu makanan yang akan dihidangkan untuk para tamu.
- Masang Dekorasi : Sebuah kegiatan untuk mendekorasi atau membuat hiasan dari kertas warna-warni yang dilakukan remaja atau muda-mudi. Setelah kertas tersebut telah disulap menjadi beragam bentuk hiasan, nantinya dipasang di sudut-sudut rumah atau digantung di langit-langit rumah.
- Tanjak : Tutup kepala yang menganjur ke atas. Biasanya terbuat dari kain tenun songket
- Gegawaan : Barang-barang yang dibawa oleh pengantin laki-laki untuk pengantin perempuan (hantaran pernikahan).
- Aesan Gede : Salah satu pakaian adat pengantin Palembang, Sumatera Selatan.
- Syarofal Anam : Kesenian bernapas Islam yang berkembang di Palembang. Kesenian ini lebih memfokuskan antara gerak dan lagu. Umumnya, satu grup syarofal anam terdiri dari 8-20 orang. Setiap orang memegang peran masing-masing. Ada yang bertugas sebagai penari, penyanyi, dan penabuh rebana.
- Bunga Langsir : Bunga yang diletakkan dalam pot. Dulu, bunga yang dipakai harus bunga hidup. Tetapi bergesernya zaman, saat ini banyak penduduk yang menggunakan bunga plastik.
*Cerita ini pernah diikutsertakan dalam sayembara TULIS NUSANTARA yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Kategori Non-Fiksi dan masuk ke dalam Top 50.
Thursday, April 24, 2014
|
Labels:
Kearifan Lokal Palembang
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
- “ngaBLOGburit”
- Acer Indonesia
- Acer Liquid Z320.
- Berkah Ramadhan
- Biaya Umroh
- Catatan Anak Bangsa
- Cerpen
- Daftar Umroh
- emas
- Haji Umroh
- Ibadah Umroh
- Jalan-Jalan
- Jelajah Gizi
- Kearifan Lokal Palembang
- Kontes Foto
- Kontes Menulis
- Motor
- Puasa
- Ramadhan
- Shooting Iklan
- Smartphone Acer
- Travel Umroh
- Umroh Murah
- Umroh Ramadhan
- Undian
- Unilever
0 comments:
Post a Comment