Bu Syarifah, Guru Panutanku, Penerang Jiwaku



Kala SD dulu, aku mempunyai guru yang luaaar biasa sabar dan bisa dibilang sebagai guru teladan. Cermin kehidupannya sangat baik untuk ditiru olehku, temanku, bahkan oleh guru-guru zaman sekarang. Namanya Ibu Syarifah. Saat itu, beliau mengajarkan kami mata pelajaran Bahasa Inggris dan Keterampilan Tangan dan Kesenian (KTK).

Kebetulan saat SD dulu, aku bersekolah pada siang hari. Dimulai dari pukul 1 (satu) siang dan berakhir pukul 5 (lima) sore. Masih tersimpan di memori ingatanku, saat itu Hari Selasa. Kebetulan pelajaran Bahasa Inggris berada di jam pertama. Mungkin kalian kaget atau bahkan tidak percaya. Pukul satu kurang seperempat menit, Ibu Syarifah telah ada di kelas. Mungkin di zaman sekarang, tidak ada guru seperti beliau. Kalaupun ada tak banyak.

Saat beliau masuk kelas, aku dan teman-teman ikut pula masuk. Jujur, kami merasa takut. Tapi apa yang terjadi? Beliau menyuruh kami kembali bermain. Jam masuk sekolah masih seperempat menit lagi. Ibu cuma mau menumpang duduk – begitu ucap beliau kepada kami ketika itu. Hal itu pun bukan sekali atau dua kali beliau lakukan.  Malah tiap kali pelajaran Bahasa Inggris ada pada jam pertama, beliau selalu begitu. Tepat waktu bin disiplin, lebih tepatnya.

Bukan cuma sikap disiplinnya saja yang kerap beliau contohkan kepada kami. Tetapi beliau juga memiliki sifat yang sangat pengertian terhadap muridnya. Terbukti ketika kami disuruh menyampul buku pelajaran Bahasa Inggris – beliau menyarankan kami untuk memanfaatkan kertas kalender bekas. Tak perlu menggunakan sampul baru, ucapnya suatu ketika.

Tak cukup sampai disitu saja. Suatu waktu, kami disuruh membuat kerajinan tangan dari kertas manggis, beliau tidak pernah menyuruh kami untuk membeli kertas dengan menggunakan uang kami. Malah beliau sendiri yang membelinya. Itupun diberikannya kepada kami secara GRATIS. Padahal kami tahu, bagaimana kehidupannya. Beliau harus membantu suaminya menghidupi empat orang anak yang masih kecil-kecil.

Kuis Permen
Tiap kali mengajar, tak pernah kudengar mulutnya mengumpat. Tak pernah pula beliau memukul dengan rotan ataupun mencubit kami. Dengan telaten dan penuh sabar, beliau mengajarkan kami. Pernah suatu hari, Haris – temanku datang terlambat. Padahal pelajaran Bahasa Inggris telah berlangsung hampir setengah jam. Ibu Syarifah tidak serta merta memarahinya lalu menghukum Haris dengan berdiri di depan kelas sambil menjewer kuping sendiri atau memarahinya seperti guru lainnya. Dengan lembut, beliau memanggil Haris, lalu bertanya kepada Haris apa alasannya terlambat. Setelah itu, Ibu Syarifah pun mempersilakan Haris duduk di bangkunya dan memperbolehkannya mengikuti pelajaran Bahasa Inggris.

Agar kami tidak bosan dalam menerima pelajaran, Ibu Syarifah juga kreatif dalam mengemas metode pelajaran yang hendak beliau berikan kepada kami. Beliau pernah mengajar kami dengan metode klasikal, demonstrasi, dan sebagainya. Beliau pernah juga mengajak kami belajar di alam terbuka.

Ada satu trik khusus yang beliau ciptakan supaya kami tidak bosan dalam belajar Bahasa Inggris. Beliau menciptakan KUIS PERMEN. Aturan mainnya tak sulit. Nantinya Ibu Syarifah akan melemparkan pertanyaan tentang apa saja yang berkaitan dengan Bahasa Inggris. Kemudian siswa yang bisa menjawab kali pertama dan jawabannya benar, maka si siswa tersebut berhak mendapatkan permen. Begitu pula ketika diantara kami mendapat nilai besar, maka Ibu Syarifah pun akan menghadiahkan kami permen.

Makanya ketika aku pernah menjadi tenaga pengajar di salah satu lembaga pendidikan di Kota Palembang setahun yang lalu, tak berlebihan jika aku meniru triknya. Ternyata dengan mengaplikasikan trik tersebut, aku merasa berhasil dalam mengajar muridku. Terbutki mereka semakin bersemangat untuk belajar.

Selain Pengajar, Juga Pendidik
Raut wajahnya tegas, tampak berwibawa dan mengisyaratkan professional dalam bekerja. Langkah kakinya tak pernah lelah, itulah gambaran yang paling pas untuk melukiskan sosok Ibu Syarifah. Panas dan hujan, beliau tak pernah absen dalam mengajar. Saat sakit pun, beliau masih menyempatkan diri untuk mengajar. Pernah suatu hari beliau bilang kepada kami seperti ini; “Ibu tidak mau memakan gaji buta.” Jujur saat itu kami tidak mengerti apa yang dikatakannya. Maklum saat itu kami masih duduk di kelas IV (empat). Tapi akhirnya, aku pun mengerti maksud dari ucapannya.

Ibu Syarifah juga bisa dikatakan sebagai seorang motivator. Jika diantara kami tidak ada yang bisa menghafal atau ada yang mengeluh dalam pelajaran, Ibu Syarifah gegas memberi semangat. Jika diantara kami ada yang baju seragamnya tidak dimasukkan, Ibu Syarifah menasehati kami. Jika diantara kami ada yang berkelahi, Bu Syarifah langsung melerainya. Setelah itu, beliau akan menasehati kami dengan cara bercerita.

Beliau akan bercerita tentang kucing dan anjing. Mendengar ceritanya, kami semua paham. Kalau berkelahi itu tiada gunanya. Lebih baik berteman, katanya. Bagiku, Ibu Syarifah memang guru yang terbaik. Pasalnya selain menjadi seorang pengajar, beliau juga seorang tenaga pendidik. Tapi sayangnya kini, sosok Ibu Syarifah tak dapat kujumpai lagi. Tiga tahun yang lalu, kabar yang kuterima dari keponakanku yang kebetulan menimba ilmu di sekolah yang sama, Ibu Syarifah telah meninggal dunia. Jujur, ketika kutahu berita duka tersebut, air mataku menitik.

Tiba-tiba semua memori tentangnya, perlahan kembali berputar di benakku. Ada satu nasehat yang ia berikan untukku. Ya, hanya untukku. Kebetulan saat itu hanya ada aku dan Bu Syarifah di dalam kelas. Kalau tidak salah, saat itu aku sudah duduk di kelas VI. Begini nasehatnya; “Ham, sebelum kau mencubit orang lain, cubitlah dirimu sendiri dan rasakan bagaimana sakitnya.” Aku sempat tak paham apa yang diutarakannya. Akhirnya ia pun menjelaskannya. Setelah dijelaskannya panjang-lebar, aku pun mengerti. Itulah yang menjadi alasannya mengapa sebabnya beliau tak pernah sekalipun mencubit murid-muridnya.

Kini, walaupun raganya tak dapat kutemui lagi, namun semangatnya dalam mengajar, disiplinnya, kreatifnya, pengertiannya, dan semua karakter-karakter positif lainnya, seperti tak akan pernah hilang. Aku berjanji tuk selalu mengaplikasikan nilai-nilai positif yang telah diajarkannya dalam kehidupanku. Semoga saja, di zaman sekarang ini bermunculan banyak Ibu Syarifah lainnya. Bak pepatah mengatakan, “Hilang satu, tumbuh seribu.”  Semoga saja!




2 comments:

Anonymous said...

Sungguh guru yang mulia beliau..

Ilham Buchori said...

iya mas... beliau itu guru yang super duper disiplin. Keren. Jarang kujumpai guru seperti beliau.

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers