Permata Hati Mama
Minggu pagi yang
cerah. Langit biru dihiasi ornamen putih dengan beragam bentuk. Sungguh cerah.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Memainkan jilbab biru Ayu yang tengah duduk santai
di teras bersama kedua orangtuanya. Dia duduk di tengah. Diapit papa dan
mamanya. Dengan penuh canda tawa, Ayu dan keluarganya bercengkrama ria. Suasana
seperti ini memang enak untuk dinikmati oleh keluarga bahagia – seperti
keluarga Ayu misalnya.
Hari ini, genap
seminggu Ayu dan keluarganya menempati rumah barunya. Ada rasa senang membalut
hati Ayu semenjak dia tinggal di rumah barunya. Bukan saja karena halaman
rumahnya yang luas, tetapi di rumah barunya ini begitu asri. Banyak pohon yang
ditanam di tiap sudut halaman.
“Pa-Ma, Ayu mau
bersepeda. Boleh ya! Mumpung masih pagi nih!” mohon Ayu pada kedua orangtunya.
“Silakan, Yu!
Papa setuju!” jawab papa.
“Tapi jangan
jauh-jauh ya, Nak!” saran mamanya.
“Siap Komandan!”
sahut Ayu.
Kemudian Ayu
bangkit dari tempat duduknya lalu menuju garasi. Dia mengambil sepedanya. Dengan
sigap, dia mulai mengayuh sepedanya.
“Daaaa, Pa-Ma!”
teriak Ayu kemudian mulai mengoes sepedanya menuju gerbang rumahnya.
Ayu terus
mengayuh sepedanya. Angin pagi yang sejuk tidak bosan menampar wajahnya yang
manis. Sesekali jilbab birunya ikut terbang melayang. Kali ini jarak yang
ditempuhnya agak jauh. Jika Rabu sore kemarin dia hanya bersepeda mengelilingi
taman tak jauh dari rumahnya. Namun pagi ini, dia sudah menempuh jarak setengah
kilo perjalanan.
Perlahan
bulir-bulir keringat mengalir pelan dari dahi juga pelipisnya. Lalu secepatnya
dia seka dengan handuk yang telah dia lilitkan di lehernya. Beberapa menit
kemudian, Ayu menghentikan laju sepedanya. Dipandangnya gerbang besar yang ada
dihadapannya. Di atas gerbang itu jelas terpampang tulisan; Kawasan Tempat Pembuangan Akhir.
Segumpal rasa penasaran sejurus memenuhi ruang hatinya. Dengan rasa penasaran
yang amat sangat, Ayu memutuskan untuk memasuki kawasan tersebut.
Dia ingin
melihat lebih dekat bagaimana kehidupan di sana. Kehidupan pemulung yang
mencari barang bekas di tumpukan sampah. Selama ini Ayu hanya bisa menyaksikan
di televisi atau melihatnya di surat kabar. Perlahan semakin perlahan Ayu
mengoes sepedanya. Tak dipedulikannya jika pakainnya terkena debu saat tiba di
sana. Tak dihiraukannya jika bau badannya nanti sama seperti sampah-sampah yang
berserakan.
Seketika bau tak
sedap menyengat – menyeruak ketika dia mulai memasuki kawasan yang sering
dianggap sebelah mata itu. Namun Ayu tetap meneruskan kayuhannya. Dipandangnya
kawasan sekitar TPA, sisi kiri-kanan dipenuhi gundukan sampah yang menggunung.
Di beberapa sudut juga dia lihat berdiri tenda-tenda kecil dan rumah berpapan
reot.
Dilihatnya di
ujung sana, dua truk sedang menumpahkan sampah entah dari mana datangnya. Ketika
sampah-sampah itu ditumpahkan, di bawahnya telah menunggu sekumpulan pemulung
yang memanggul karung besar dengan tongkat pengait di tangan. Dengan lincah,
tangan-tangan itu mengais lalu mengambil sampah yang bisa dijual kepada
pengepul.
Namun, ada sesuatu
hal yang menggelitik hati Ayu saat melihat para pemulung itu. Diantara banyak
pemulung itu, ada beberapa anak kecil yang ikut mengais sampah bekas. Tak
sadar, air mata Ayu menitik. Ingin dia ke sana, tapi niat itu diurungkannya.
Dia takut menganggu mereka yang sedang fokus bekerja.
Ayu mengayuh
sepedanya lagi. Melihat lebih dekat kawasan sekitar TPA. Wah, luasnya kawasan
ini, gumamnya. Tiba-tiba retina mata gadis berusia 17 tahun itu menangkap
sekumpulan anak perempuan yang sedang bermain tak jauh dari tempatnya berdiri.
Lantas dihampirinya anak-anak yang sedang bermain itu. Ditatapnya satu persatu
wajah lugu gadis kecil itu. Wajah mereka kusam. Rambut mereka kusut. Pakaian
mereka lusuh. Namun kecerian tetap tergambar di raut wajah mereka. Dengan riang
mereka terus bermain.
“Siapa nama
adik?” tanya Ayu pada seorang gadis kecil yang mengenakan kaus kuning kumal.
Ia hanya tersenyum,
memamerkan barisan giginya yang hitam.
“Kalau adik yang
satu ini, siapa namanya?” tanya Ayu pada gadis kecil satunya lagi.
“Nama saya Yeni,
Kak. Kakak siapa namanya?”
“Nama kakak, Ayu
Nur Hasanah. Yeni cukup memanggil kakak Kak Ayu saja. Yeni kelas berapa
sekolahnya?” tanya Ayu lagi.
“Yeni nggak
sekolah, Kak!” jawabnya sedikit malu-malu.
“Mengapa
memangnya?” buru Ayu.
“Emak nggak ada
uang Kak untuk menyekolahkan Yeni!” jawab gadis kecil itu polos sambil
memainkan rambutnya yang ikal kusut.
Tak sadar,
kembali kristal bening dari sudut mata Ayu menetes. Hatinya terasa dipukul
godam berkali-kali.
“Memangnya rumah
adik di mana?” tanya Ayu sembari menghapus air matanya.
“Di sana, Kak!”
ia menunjuk rumah kayu berpapan reot yang ada di dekat gundukan sampah.
“Mau nggak,
kalau Yeni belajar sama Kakak?”
“Mau… mau… Kak! Kapan?”
“Nanti
sore Kakak akan kembali ke sini. Yeni boleh mengajak teman-teman yang lain
untuk ikut belajar. Oke!”
“Oke,
Kak!” sahut Yeni girang.
Matahari mulai
meninggi. Ayu gegas pulang ke rumah. Dia yakin, saat ini mamanya telah
menunggunya. Karena jam setengah sebelas nanti, dia akan pergi ke pesta
pernikahan karyawan papanya.
**0**
Dengan
jantung berdebar-debar, Ayu melangkah menuju ruang tengah. Ia ingin menemui
mama di sana. Ayu ingin meminta izin pada mama untuk
pergi ke rumah Yeni dkk.
“Ma, Ayu pergi
dulu ke rumah Kelisha. Ayu akan belajar kelompok di rumahnya.”
“Perlu Mama
antar pakai mobil, Yu?”
“Nggak usah Ma. Biar Ayu mengendarai sepeda
saja,” Ayu berkilah.
“Hati-hatinya
ya, Nak!” nasehat mamanya.
Ayu terpaksa
berbohong. Dia tahu bagaimana sebenarnya watak mamanya. Mamanya memang tipe
orangtua yang disiplin, ketat, dan keras. Bukan kepada dia saja, tetapi kepada
Kak Arsyad – kakaknya yang saat ini menempuh kuliah kedokterannya di Pulau
Jawa. Jika dia berterus terang, dia yakin dia tak akan diberi izin. Apalagi
mamanya sampai tahu kalau dia pergi ke kampung kumuh. Bisa-bisa mamanya marah
besar. Mamanya takut dia tertular penyakit, takut badannya hitam, dan sejumlah
ketakutan lainnya.
Dengan santai,
Ayu mengendarai sepedanya. Ayu sengaja mengendarai sepeda menuju ke rumah Yeni
dkk. Selain berolahraga, sekaligus bisa mengurangi polusi udara, pikirnya.
Desir angin sore tak henti menerpa wajahnya. Ketika dia melintas di sebuah toko
alat tulis, Ayu mampir sejenak. Diparkirnya sepedanya, lalu dia membeli dua
lusin buku tulis, satu kotak pensil, dan beberapa penghapus di sana. Uang itu
merupakan tabungan pribadinya.
Sepuluh menit
berlalu. Kini Ayu telah sampai di kawasan TPA. Dilihatnya di sudut lapangan di
bawah pohon besar itu, beberapa anak telah berkumpul. Mereka duduk rapi dengan
beralaskan kardus. Dan Ayu benar-benar tercengang ketika dari dekat melihat ada
papan tulis berukuran kecil bersandar di sebuah pohon plus spidol hitamnya. Melihat itu, mata Ayu berkaca-kaca. Ya Tuhan,
begitu tinggi semangat mereka untuk menimba ilmu, bisik Ayu dalam hati.
Sore adik-adik!”
sapa Ayu.
“Sore
Kaaaakkkk!” sahut mereka bersamaan.
“Oh ya, Kakak
mau nanya, ini papan tulis siapa?”
“Papan tulis itu
punya Bapak Sari, Kak. Bapak sudah lama menemukan papan itu saat mencari barang
bekas di perumahan warga,” terang Sari.
“Oooo… Baiklah, sebelum
kita memulai pelajaran hari ini, Kakak ingin mengenal kalian lebih dekat. Boleh
kan?”
“Boleeh, Kaaak!”
Satu persatu
anak mulai memperkenal diri. Diantara mereka masih ada yang malu-malu. Ada
namanya Yeni, Dia, Mayang, Sari, Puspa, Mona, Ajeng, Haerudin, Agung, Erwan,
dan Ari. Kemudian Ayu mulai membagikan
buku dan pensil kepada mereka. Setelah itu, Dia melangkah ke arah papan tulis.
Dicontohkannya bagaimana menulis huruf A-a--B-b-C-c dengan benar. Di belakang,
anak-anak memperhatikannya dengan seksama.
“Ayo Adik-adik,
silakan ditulis!”
“Siaaapp, Kak!”
jawab mereka berbarengan.
Dengan semangat
mereka mulai menulis. Perlahan Ayu menatap lekat satu persatu wajah lugu
anak-anak yang ada dihadapannya, lalu seulas senyum terkembang dari bibirnya
yang merah delima. Ayu terkagum-kagum ketika melihat hasil tulisan anak-anak.
Tulisan mereka tak kalah bagus dan rapi dengan anak-anak yang mengecap
pendidikan formal di luar sana.
Tak
terasa, langit telah berhiaskan semburat kuning tembaga. Segerombolan burung-burung
melayang – terbang tinggi pulang ke kandangnya. Ayu pun memutuskan untuk
mengakhiri pertemuannya dengan anak-anak yang memiliki semangat tinggi dalam
meraih cita-cita ini.
“Oke adik-adik,
karena waktu hampir Magrib, Kakak akhiri pertemuan kita sampai di sini. Insya
Allah kita sambung lagi besok sore!”
“Iyaaa Kak!”
**0**
Sesampai di
rumah, mama telah menunggu kedatangan Ayu dengan wajah khawatir.
“Dari mana saja
kamu, Yu!” Tahu nggak, Mama sudah khawatir. Ayo cepat mandi sana. Setelah itu
sholat Maghrib!”
“Baik, Ma!”
jawab Ayu sambil menunduk.
Ayu langsung
menuju kamar tidurnya di lantai dua. Bergegas dia mandi dan bersiap menunaikan
sholat Maghrib. Tak lama setelah dia sholat, mama mengetuk pintunya. Dia
bangkit dari tempat duduknya, lalu membukakan pintu. Mama hanya menyampaikan;
waktunya makan malam. Ayu mengiyakannya.
Di meja makan,
papa dan mama telah menunggunya. Ayu melihat wajah papanya dingin. Pula dengan
mamanya. Ayu jadi tak enak diri.
“Yu, apa benar
Ayu tadi pulang hingga Magrib menjelang?” tanya papa memulai membuka obrolan.
“Iya, Pa!” jawab
Ayu.
“Tak biasanya
kamu begini, Yu? Papa merasa ada yang aneh denganmu,” selidik papa.
Sejenak suasana
hening menyergap. Beberapa detik kemudian, dengan suara parau Ayu mulai membuka
suara.
“Jujur, Pa-Ma!
Tadi Ayu habis mengajarkan anak-anak yang ada di TPA di ujung jalan sana. Ayu
tak tega melihat mereka. Mereka butuh pendidikan, Pa. Orangtua mereka tak
sanggup membiayai pendidikan mereka,” jelas Ayu pada orangtuanya.
“Tapi bukan
begini juga caranya, Yu. Seharusnya kamu itu ngomong baik-baik sama Papa atau Mamamu. Coba kalau ada apa-apa di
jalan,” lanjut papa kemudian.
“Iya Pa, Ayu
mengerti!” jawab Ayu pelan seraya menundukkan kepala.
“Jadi, tadi sore
kamu sudah berani bohongin Mama ya Yu!”
“Maaf Ma, kalau
Ayu telah lancang! Ayu yakin, jika Ayu berterus terang, Mama pasti tidak akan
mengizinkan Ayu,” Ayu berkata jujur pada mamanya.
“Ingat Yu!!!
Mulai besok dan seterusnya kamu jangan lagi pergi ke sana. Itu tempat kumuh. Sarang
penyakit. Kamu mau, terkena penyakit?” omel mama.
“Bagaimana Ayu
bisa turut serta membangun bangsa ini Ma, jika Mama melarang Ayu! Di mana hati
nurani, Mama??” cecar Ayu dengan nada kesal.
“Jaga ucapanmu
ya, Yu!” bentak mama seraya mendaratkan tamparan ke wajah Ayu, namun dengan
sigap papa menangkisnya.
Secepatnya Ayu
berlalu dari pandangan kedua orangtuanya. Papa yang melihat itu hanya diam.
Sesampai di kamar, Ayu mengunci pintu. Ayu mulai meneteskan air mata. Tak
berapa lama Papa mengetuk pintu. Papa mohon dibukakan pintu. Ayu pun
membukakannya.
“Yu, Papa tahu
perbuatan yang Ayu lakukan itu sangat terpuji. Papa sangat mendukung apa yang
telah Ayu lakukan. Tapi lain kali Ayu harus ngomong dulu kalau mau perginya.
Jadi nggak buat khawatir Papa atau Mama,” jelas papa.
“Iya, Pa! Ayu
janji lain kali Ayu akan berterus terang kalau pergi ke sana.”
“Oke! Papa
janji, mulai besok dan seterusnya Papa yang akan mengantarmu. Ayo, cepat kamu
meminta maaf sama Mamamu!”
“Baik, Pa!”
Ayu lalu
melangkah menuruni tangga menuju lantai bawah. Ia ingin menemui mama di
kamarnya. Perlahan Ayu mendekati mama yang sedang berbaring di atas kasur,
kemudian meminta maaf.
“Ma, maafkan
Ayu! kalau tadi Ayu sudah keterlaluan bicaranya!”
Mama bangkit
dari tidurnya, lalu berkata: “Oke, Mama maafkan. Tapi kamu jangan ke kampung
kumuh itu lagi.”
“Tapi Ma… Papa
menyetujuinya!” kata Ayu seperti memelas.
“Terserah, itu
hak Papamu. Ingat!!! Jika kamu masih ke sana, Mama angkat tangan jika kamu
kenapa-kenapa nantinya!” tanggap Mama kesal.
“Baiklah Ma, Ayu
akan menanggung segala konsekuensinya!” jawab Ayu mantap.
**0**
Jam di dinding
ruang keluarga telah menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh menit. Ayu masih
menunggu Papa. Sebenarnya terpetik dihatinya ingin pergi ke rumah Yeni dkk
dengan mengendarai sepeda, namun dia tak mau membuat papa kecewa.
Diliriknya mama
yang sejak tadi hanya asyik membaca majalah wanita. Tidak sedikit pun mama
menegurnya. Ayu hanya bisa menghela napas. Tak berapa lama kemudian, papa telah
ada dihadapannya. Ayu bersorak riang.
“Ayo Yu, Papa
antar!” ajak papa.
“Oke, Pa!”
“Oh ya Ma, papa
pergi sebentar mengantar Ayu!”
“Anak sama Bapak
sama saja. Nanti kalau terserang penyakit baru tahu rasa,” mama menggerutu.
Sepuluh menit
berlalu. Kini, Ayu dan papa telah sampai. Ketika Ayu turun dari mobil, anak-anak
mulai berlari mengerumuni lalu menyalami Ayu dan papanya.
“Wah! Kak Ayu
kaya ya, ada mobil,” celutuk Erwan.
“Iya ya! Kak Ayu
kaya. Cantik lagi. Enak ya, jadi Kak Ayu,” sahut Puspa tak mau kalah.
“Ini siapa Kak
Ayu?” tanya Yeni.
“Ini Papa Kak
Ayu, Yen!”
“Oh…..”
“Ayo adik-adik,
kita mulai belajar. Hari mulai sore!”
“Ayo, Kaaak!”
Sore ini, Ayu
akan mengajarkan menulis dan mengenalkan angka kepada Yeni dkk. Dengan telaten,
Ayu mencontohkannya di papan tulis. 1-2-3-4-5. Dari jauh, papa melihat Ayu
tersenyum bangga.
**0**
Hari ini, mama yang mengantar Ayu sekolah. Karena setelah
itu, mama akan belanja keperluan sehari-hari di supermarket. Selama perjalanan menuju sekolah, sikap mama masih saja
dingin sama Ayu. Mama hanya berkata seperlunya. Tidak seperti hari
kemarin-kemarin. Mama yang selalu mengajak Ayu mengobrol.
Sejurus kemudian, Ayu melihat kelebatan dua orang yang
menyeruak dari semak-semak. Seketika Ayu dan mama kaget saat mereka menghadang
tepat di depan mobil. Mendadak mama mengerem. Tampang mereka garang, menyeramkan.
Lalu mereka mengetuk kaca mobil dengan sangat kasar.
“Buka kaca mobilnya!” seru laki-laki yang ada di dekat kaca
mobil mama sambil menodongkan pisau.
Mama kebingungan. Sedang Ayu mencoba untuk tenang.
“Serahkan perhiasaan yang Anda pakai, dompet, dan hp!”
perintahnya kemudian.
Saat mama hendak melepas kalungnya, dari kejauhan Ayu
mendengar suara teriakan anak laki-laki. Entah teriakan siapa itu.
“Mang Udiiin, Stoopp!!! Jangan memalak mobil itu. Mobil itu
punya papa Kak Ayu!” teriak bocah itu dengan lantang.
Lelaki yang dipanggil Mang Udin itu menoleh ke arah bocah
yang memanggilnya. Bocah itu makin mendekat kian dekat.
“Erwan!” desis Ayu di dalam mobil.
“Kamu kenal dengan bocah itu, Yu?” tanya mama pelan.
“Iya Ma, Ayu kenal. Itu Erwan. Salah satu bocah yang Ayu
ajar,” terang Ayu.
“Ayo, kalau Mang Udin berani memalak mobil ini, nanti Erwan
kasih tau Bapak!” kata Erwan dari luar mobil.
“Iya…Iya.. Mang Udin nggak
jadi. Ayo Min, kita kabur!” ajak Mang Udin pada Mang Amin, temannya.
Kedua laki-laki itu langsung berlari. Gegas Ayu membuka
pintu mobilnya, lalu menghampiri Erwan.
“Erwan? Kok Erwan ada di sini??” tanya Ayu seraya
mengerutkan keningnya.
“Tadi Erwan mulung di sana, Kak. Lantas Erwan melihat mobil
papa Kak Ayu ini dipalak sama Mang Udin dan Mang Amin. Ya, Erwan cegah dong,”
ujarnya.
“Kak Ayu heran, mengapa mereka berdua sampai takut sama
Erwan ya?”tanya Ayu tak percaya.
“Oh… kebetulan Bapak Erwan dulu preman besar di kawasan ini,
Kak! Bapak cukup disegani. Tapi sekarang Bapak sudah tobat,” katanya dengan
polos.
“Oooo.. gitu ya! Oh ya, kok Erwan tahu kalau ini mobil Papa
Kak Ayu?”
“Beberapa hari yang
lalu, Erwan ingat Papa Kak Ayu ikut mengantar Kak Ayu pakai mobil ini. Terus
yang paling Erwan ingat, nomor mobilnya, 1212 kan?”
Ayu tersenyum lebar. Lalu memeluk Erwan dengan erat sambil
berkata lembut; “Terima kasih ya Wan telah menolong Kakak dan Mama Kakak!”
Mama yang ada di
dalam mobil tak mampu berkata apa-apa. Mata mama berkaca-kaca. Ya Allah, terima
kasih engkau telah mengaruniakan Ayu kepada saya. Ia memang anak yang berbakti.
Berarti selama ini saya terlalu keras mendidiknya, gumam mama.
**0**
Sudah tiga hari Ayu sakit. Dokter bilang dia hanya
kecapekan. Maka Ayu butuh istirahat yang cukup. Kini, Ayu terbaring di atas kasur. Dia merasa menjalani hidup yang begitu jenuh. Tapi untunglah, teman-teman sekolah, wali kelas, dan beberapa tetangga datang menjenguk.
Ayu merasa terhibur. Ayu pun semakin terhibur dengan kehadiran Yeni dkk dan
mama yang selalu ada di sampingnya.
Seminggu sudah
Ayu berbaring di atas kasur. Kini, dia bisa kembali ke sekolah lagi. Kembali
berkumpul dengan teman-temannya. Dan, kembali mengajar Yeni dkk.
Seperti
biasa, sore ini Ayu telah bersiap-siap untuk pergi mengajar. Namun sejak tadi,
dia tak melihat mamanya. Bertanya Ayu pada Bik Iyem, namun Bik Iyem menjawab
pendek; Nyonya pergi arisan, Non! Tak berapa lama kemudian, papa muncul.
”Sudah lama Yu,
menunggunya?”
”Iya, Pa!
Haaam..pir saja Ayu mau pakai sepeda ke sana!
”Mau
ngecewain papa ya!” ledek papa.
”Nggak, Pa...
Ayu cuma bercanda. Hehehe...”
Ayu dan papa
mulai meluncur ke rumah Yeni dkk. Di dalam perjalanan, tiba-tiba wajah
kesebelas anak-anak itu melintas di benak Ayu. Wajah-wajah lugu yang memiliki
semangat tinggi untuk meraih ilmu juga mimpi itu seolah selalu mampir setiap
geraknya.
Masih
membekas di benak Ayu, saat dia menanyakan perihal cita-cita. Beragam cita-cita
yang mereka lontarkan, ada yang ingin menjadi dokter, polisi, tentara, bidan,
sampai presiden. Mendengar itu, air mata Ayu
ingin tumpah, namun tetap coba dia tahan.
Lima
belas menit berlalu. Kini, Ayu telah sampai di tempat mengajarnya. Namun
sedetik kemudian, mata gadis yang duduk di kelas sebelas itu membelalak kaget. Mulutnya
menganga. Tempat biasanya dia mengajar kini telah disulap menjadi sebuah rumah
kecil. Rumah berpapan kayu beratap seng. Bersegera Ayu berlari-lari kecil
menuju ke sana. Dia sudah diselimuti rasa cemas yang tinggi. Kemana anak-anak?
Tanyanya dalam hati.
Tiba di depan
pintu, Ayu benar-benar tidak percaya. Di sana sudah ada mama mengajarkan
anak-anak. Dan, yang membuat dia tercengang anak-anak tidak lagi menulis
lesehan di lantai beralas kardus, melainkan sudah menulis di atas meja dan
duduk di kursi. Ayu benar-benar tak menyangka. Jika kini sifat mamanya telah
berubah seratus delapan puluh derajat.
“Mama?”
“Ayu?” jawab mama sembari menoleh ke arah Ayu.
Ayu menghampiri
mamanya.
“Siapa yang
membangun semua ini, Ma?” tanya Ayu bingung.
“Yang membangun
semua ini adalah Mamamu, Yu,” jawab papa dari balik pintu lalu mendekat ke
arah Ayu dan mama.
“Semua ini juga
berkat bantuan Papamu, kok Yu.”
“Jujur Ma-Pa,
Ayu tak bisa berkata-kata lagi. Ayu hanya bisa mengucapkan terima kasih banyak
karena Mama dan Papa telah bersedia memberikan semua fasilitas ini kepada
anak-anak yang ada di sini. Ayu janji akan tetap semangat mengajar mereka. Ayu
janji akan membantu mereka tuk meraih cita-cita mereka,” ujar Ayu mantap.
Papa dan mama
memandang Ayu, lama. Lalu mereka tersenyum bangga. Kemudian, Ayu memeluk papa
dan tak lama setelah itu dia memeluk mamanya.
“Maafkan Mama
ya, Yu! Kalau selama ini mama terlalu ketat mendidikmu. Kau memang permata hati
mama yang selalu bersinar terang. Terima kasih kau telah membuat Mama bangga,”
ucap Mama sambil memeluk Ayu erat serasa tak mau melepaskannya.
Anak-anak yang
melihat pemandangan itu bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Bumi
Sriwijaya yang damai, 12 Mei 2012
Wednesday, June 13, 2012
|
Labels:
Cerpen
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
- “ngaBLOGburit”
- Acer Indonesia
- Acer Liquid Z320.
- Berkah Ramadhan
- Biaya Umroh
- Catatan Anak Bangsa
- Cerpen
- Daftar Umroh
- emas
- Haji Umroh
- Ibadah Umroh
- Jalan-Jalan
- Jelajah Gizi
- Kearifan Lokal Palembang
- Kontes Foto
- Kontes Menulis
- Motor
- Puasa
- Ramadhan
- Shooting Iklan
- Smartphone Acer
- Travel Umroh
- Umroh Murah
- Umroh Ramadhan
- Undian
- Unilever
2 comments:
meengharu biru,,,
hmm,, gambaran kehidupan yang syarat makna,, ketika harus terjadinya suatu keseimbangan yang hakiki,,, keadaan kaya mesti ada miskin, bagai siang dan malam yang selalu datang beraturan,,
hmm,, kepedulian terhadap sesama,, cerita yg menarik sob ku wong kito,,hehe
Post a Comment