Permata Hati Mama



Minggu pagi yang cerah. Langit biru dihiasi ornamen putih dengan beragam bentuk. Sungguh cerah. Angin bertiup sepoi-sepoi. Memainkan jilbab biru Ayu yang tengah duduk santai di teras bersama kedua orangtuanya. Dia duduk di tengah. Diapit papa dan mamanya. Dengan penuh canda tawa, Ayu dan keluarganya bercengkrama ria. Suasana seperti ini memang enak untuk dinikmati oleh keluarga bahagia – seperti keluarga Ayu misalnya.
Hari ini, genap seminggu Ayu dan keluarganya menempati rumah barunya. Ada rasa senang membalut hati Ayu semenjak dia tinggal di rumah barunya. Bukan saja karena halaman rumahnya yang luas, tetapi di rumah barunya ini begitu asri. Banyak pohon yang ditanam di tiap sudut halaman.
“Pa-Ma, Ayu mau bersepeda. Boleh ya! Mumpung masih pagi nih!” mohon Ayu pada kedua orangtunya.
“Silakan, Yu! Papa setuju!” jawab papa.
“Tapi jangan jauh-jauh ya, Nak!” saran mamanya.
“Siap Komandan!” sahut Ayu.
Kemudian Ayu bangkit dari tempat duduknya lalu menuju garasi. Dia mengambil sepedanya. Dengan sigap, dia mulai mengayuh sepedanya.
“Daaaa, Pa-Ma!” teriak Ayu kemudian mulai mengoes sepedanya menuju gerbang rumahnya.
Ayu terus mengayuh sepedanya. Angin pagi yang sejuk tidak bosan menampar wajahnya yang manis. Sesekali jilbab birunya ikut terbang melayang. Kali ini jarak yang ditempuhnya agak jauh. Jika Rabu sore kemarin dia hanya bersepeda mengelilingi taman tak jauh dari rumahnya. Namun pagi ini, dia sudah menempuh jarak setengah kilo perjalanan.
Perlahan bulir-bulir keringat mengalir pelan dari dahi juga pelipisnya. Lalu secepatnya dia seka dengan handuk yang telah dia lilitkan di lehernya. Beberapa menit kemudian, Ayu menghentikan laju sepedanya. Dipandangnya gerbang besar yang ada dihadapannya. Di atas gerbang itu jelas terpampang tulisan; Kawasan Tempat Pembuangan Akhir. Segumpal rasa penasaran sejurus memenuhi ruang hatinya. Dengan rasa penasaran yang amat sangat, Ayu memutuskan untuk memasuki kawasan tersebut.
Dia ingin melihat lebih dekat bagaimana kehidupan di sana. Kehidupan pemulung yang mencari barang bekas di tumpukan sampah. Selama ini Ayu hanya bisa menyaksikan di televisi atau melihatnya di surat kabar. Perlahan semakin perlahan Ayu mengoes sepedanya. Tak dipedulikannya jika pakainnya terkena debu saat tiba di sana. Tak dihiraukannya jika bau badannya nanti sama seperti sampah-sampah yang berserakan.
Seketika bau tak sedap menyengat – menyeruak ketika dia mulai memasuki kawasan yang sering dianggap sebelah mata itu. Namun Ayu tetap meneruskan kayuhannya. Dipandangnya kawasan sekitar TPA, sisi kiri-kanan dipenuhi gundukan sampah yang menggunung. Di beberapa sudut juga dia lihat berdiri tenda-tenda kecil dan rumah berpapan reot.
Dilihatnya di ujung sana, dua truk sedang menumpahkan sampah entah dari mana datangnya. Ketika sampah-sampah itu ditumpahkan, di bawahnya telah menunggu sekumpulan pemulung yang memanggul karung besar dengan tongkat pengait di tangan. Dengan lincah, tangan-tangan itu mengais lalu mengambil sampah yang bisa dijual kepada pengepul.
Namun, ada sesuatu hal yang menggelitik hati Ayu saat melihat para pemulung itu. Diantara banyak pemulung itu, ada beberapa anak kecil yang ikut mengais sampah bekas. Tak sadar, air mata Ayu menitik. Ingin dia ke sana, tapi niat itu diurungkannya. Dia takut menganggu mereka yang sedang fokus bekerja.
Ayu mengayuh sepedanya lagi. Melihat lebih dekat kawasan sekitar TPA. Wah, luasnya kawasan ini, gumamnya. Tiba-tiba retina mata gadis berusia 17 tahun itu menangkap sekumpulan anak perempuan yang sedang bermain tak jauh dari tempatnya berdiri. Lantas dihampirinya anak-anak yang sedang bermain itu. Ditatapnya satu persatu wajah lugu gadis kecil itu. Wajah mereka kusam. Rambut mereka kusut. Pakaian mereka lusuh. Namun kecerian tetap tergambar di raut wajah mereka. Dengan riang mereka terus bermain.
“Siapa nama adik?” tanya Ayu pada seorang gadis kecil yang mengenakan kaus kuning kumal.
Ia hanya tersenyum, memamerkan barisan giginya yang hitam.
“Kalau adik yang satu ini, siapa namanya?” tanya Ayu pada gadis kecil satunya lagi.
“Nama saya Yeni, Kak. Kakak siapa namanya?”
“Nama kakak, Ayu Nur Hasanah. Yeni cukup memanggil kakak Kak Ayu saja. Yeni kelas berapa sekolahnya?” tanya Ayu lagi.
“Yeni nggak sekolah, Kak!” jawabnya sedikit malu-malu.
“Mengapa memangnya?” buru Ayu.
“Emak nggak ada uang Kak untuk menyekolahkan Yeni!” jawab gadis kecil itu polos sambil memainkan rambutnya yang ikal kusut.
Tak sadar, kembali kristal bening dari sudut mata Ayu menetes. Hatinya terasa dipukul godam berkali-kali.
“Memangnya rumah adik di mana?” tanya Ayu sembari menghapus air matanya.
“Di sana, Kak!” ia menunjuk rumah kayu berpapan reot yang ada di dekat gundukan sampah.
“Mau nggak, kalau Yeni belajar sama Kakak?”
 “Mau… mau… Kak! Kapan?”
“Nanti sore Kakak akan kembali ke sini. Yeni boleh mengajak teman-teman yang lain untuk ikut belajar. Oke!”
“Oke, Kak!” sahut Yeni girang.
Matahari mulai meninggi. Ayu gegas pulang ke rumah. Dia yakin, saat ini mamanya telah menunggunya. Karena jam setengah sebelas nanti, dia akan pergi ke pesta pernikahan karyawan papanya.
**0**
Dengan jantung berdebar-debar, Ayu melangkah menuju ruang tengah. Ia ingin menemui mama di sana. Ayu ingin meminta izin pada mama untuk pergi ke rumah Yeni dkk.
“Ma, Ayu pergi dulu ke rumah Kelisha. Ayu akan belajar kelompok di rumahnya.”
“Perlu Mama antar pakai mobil, Yu?”
“Nggak usah Ma. Biar Ayu mengendarai sepeda saja,” Ayu berkilah.
“Hati-hatinya ya, Nak!” nasehat mamanya.
Ayu terpaksa berbohong. Dia tahu bagaimana sebenarnya watak mamanya. Mamanya memang tipe orangtua yang disiplin, ketat, dan keras. Bukan kepada dia saja, tetapi kepada Kak Arsyad – kakaknya yang saat ini menempuh kuliah kedokterannya di Pulau Jawa. Jika dia berterus terang, dia yakin dia tak akan diberi izin. Apalagi mamanya sampai tahu kalau dia pergi ke kampung kumuh. Bisa-bisa mamanya marah besar. Mamanya takut dia tertular penyakit, takut badannya hitam, dan sejumlah ketakutan lainnya. 
Dengan santai, Ayu mengendarai sepedanya. Ayu sengaja mengendarai sepeda menuju ke rumah Yeni dkk. Selain berolahraga, sekaligus bisa mengurangi polusi udara, pikirnya. Desir angin sore tak henti menerpa wajahnya. Ketika dia melintas di sebuah toko alat tulis, Ayu mampir sejenak. Diparkirnya sepedanya, lalu dia membeli dua lusin buku tulis, satu kotak pensil, dan beberapa penghapus di sana. Uang itu merupakan tabungan pribadinya.
Sepuluh menit berlalu. Kini Ayu telah sampai di kawasan TPA. Dilihatnya di sudut lapangan di bawah pohon besar itu, beberapa anak telah berkumpul. Mereka duduk rapi dengan beralaskan kardus. Dan Ayu benar-benar tercengang ketika dari dekat melihat ada papan tulis berukuran kecil bersandar di sebuah pohon plus spidol hitamnya. Melihat itu, mata Ayu berkaca-kaca. Ya Tuhan, begitu tinggi semangat mereka untuk menimba ilmu, bisik Ayu dalam hati.
Sore adik-adik!” sapa Ayu.
“Sore Kaaaakkkk!” sahut mereka bersamaan.
“Oh ya, Kakak mau nanya, ini papan tulis siapa?”
“Papan tulis itu punya Bapak Sari, Kak. Bapak sudah lama menemukan papan itu saat mencari barang bekas di perumahan warga,” terang Sari.
“Oooo… Baiklah, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, Kakak ingin mengenal kalian lebih dekat. Boleh kan?”
“Boleeh, Kaaak!”
Satu persatu anak mulai memperkenal diri. Diantara mereka masih ada yang malu-malu. Ada namanya Yeni, Dia, Mayang, Sari, Puspa, Mona, Ajeng, Haerudin, Agung, Erwan, dan Ari.  Kemudian Ayu mulai membagikan buku dan pensil kepada mereka. Setelah itu, Dia melangkah ke arah papan tulis. Dicontohkannya bagaimana menulis huruf A-a--B-b-C-c dengan benar. Di belakang, anak-anak memperhatikannya dengan seksama.
“Ayo Adik-adik, silakan ditulis!”
“Siaaapp, Kak!” jawab mereka berbarengan.
Dengan semangat mereka mulai menulis. Perlahan Ayu menatap lekat satu persatu wajah lugu anak-anak yang ada dihadapannya, lalu seulas senyum terkembang dari bibirnya yang merah delima. Ayu terkagum-kagum ketika melihat hasil tulisan anak-anak. Tulisan mereka tak kalah bagus dan rapi dengan anak-anak yang mengecap pendidikan formal di luar sana.
            Tak terasa, langit telah berhiaskan semburat kuning tembaga. Segerombolan burung-burung melayang – terbang tinggi pulang ke kandangnya. Ayu pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya dengan anak-anak yang memiliki semangat tinggi dalam meraih cita-cita ini.
“Oke adik-adik, karena waktu hampir Magrib, Kakak akhiri pertemuan kita sampai di sini. Insya Allah kita sambung lagi besok sore!”
“Iyaaa Kak!”
**0**
Sesampai di rumah, mama telah menunggu kedatangan Ayu dengan wajah khawatir.
“Dari mana saja kamu, Yu!” Tahu nggak, Mama sudah khawatir. Ayo cepat mandi sana. Setelah itu sholat Maghrib!”
“Baik, Ma!” jawab Ayu sambil menunduk.
Ayu langsung menuju kamar tidurnya di lantai dua. Bergegas dia mandi dan bersiap menunaikan sholat Maghrib. Tak lama setelah dia sholat, mama mengetuk pintunya. Dia bangkit dari tempat duduknya, lalu membukakan pintu. Mama hanya menyampaikan; waktunya makan malam.  Ayu mengiyakannya.
Di meja makan, papa dan mama telah menunggunya. Ayu melihat wajah papanya dingin. Pula dengan mamanya. Ayu jadi tak enak diri.
“Yu, apa benar Ayu tadi pulang hingga Magrib menjelang?” tanya papa memulai membuka obrolan.
“Iya, Pa!” jawab Ayu.
“Tak biasanya kamu begini, Yu? Papa merasa ada yang aneh denganmu,” selidik papa.
Sejenak suasana hening menyergap. Beberapa detik kemudian, dengan suara parau Ayu mulai membuka suara.
“Jujur, Pa-Ma! Tadi Ayu habis mengajarkan anak-anak yang ada di TPA di ujung jalan sana. Ayu tak tega melihat mereka. Mereka butuh pendidikan, Pa. Orangtua mereka tak sanggup membiayai pendidikan mereka,” jelas Ayu pada orangtuanya.
“Tapi bukan begini juga caranya, Yu. Seharusnya kamu itu ngomong baik-baik sama Papa atau Mamamu. Coba kalau ada apa-apa di jalan,” lanjut papa kemudian.
“Iya Pa, Ayu mengerti!” jawab Ayu pelan seraya menundukkan kepala.
“Jadi, tadi sore kamu sudah berani bohongin Mama ya Yu!”
“Maaf Ma, kalau Ayu telah lancang! Ayu yakin, jika Ayu berterus terang, Mama pasti tidak akan mengizinkan Ayu,” Ayu berkata jujur pada mamanya.
“Ingat Yu!!! Mulai besok dan seterusnya kamu jangan lagi pergi ke sana. Itu tempat kumuh. Sarang penyakit. Kamu mau, terkena penyakit?” omel mama.
“Bagaimana Ayu bisa turut serta membangun bangsa ini Ma, jika Mama melarang Ayu! Di mana hati nurani, Mama??” cecar Ayu dengan nada kesal.
“Jaga ucapanmu ya, Yu!” bentak mama seraya mendaratkan tamparan ke wajah Ayu, namun dengan sigap papa menangkisnya.
Secepatnya Ayu berlalu dari pandangan kedua orangtuanya. Papa yang melihat itu hanya diam. Sesampai di kamar, Ayu mengunci pintu. Ayu mulai meneteskan air mata. Tak berapa lama Papa mengetuk pintu. Papa mohon dibukakan pintu. Ayu pun membukakannya.
“Yu, Papa tahu perbuatan yang Ayu lakukan itu sangat terpuji. Papa sangat mendukung apa yang telah Ayu lakukan. Tapi lain kali Ayu harus ngomong dulu kalau mau perginya. Jadi nggak buat khawatir Papa atau Mama,” jelas papa.
“Iya, Pa! Ayu janji lain kali Ayu akan berterus terang kalau pergi ke sana.”
“Oke! Papa janji, mulai besok dan seterusnya Papa yang akan mengantarmu. Ayo, cepat kamu meminta maaf sama Mamamu!”
“Baik, Pa!”
Ayu lalu melangkah menuruni tangga menuju lantai bawah. Ia ingin menemui mama di kamarnya. Perlahan Ayu mendekati mama yang sedang berbaring di atas kasur, kemudian meminta maaf.
“Ma, maafkan Ayu! kalau tadi Ayu sudah keterlaluan bicaranya!”
Mama bangkit dari tidurnya, lalu berkata: “Oke, Mama maafkan. Tapi kamu jangan ke kampung kumuh itu lagi.”
“Tapi Ma… Papa menyetujuinya!” kata Ayu seperti memelas.
“Terserah, itu hak Papamu. Ingat!!! Jika kamu masih ke sana, Mama angkat tangan jika kamu kenapa-kenapa nantinya!” tanggap Mama kesal.
“Baiklah Ma, Ayu akan menanggung segala konsekuensinya!” jawab Ayu mantap.

**0**
Jam di dinding ruang keluarga telah menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh menit. Ayu masih menunggu Papa. Sebenarnya terpetik dihatinya ingin pergi ke rumah Yeni dkk dengan mengendarai sepeda, namun dia tak mau membuat papa kecewa.
Diliriknya mama yang sejak tadi hanya asyik membaca majalah wanita. Tidak sedikit pun mama menegurnya. Ayu hanya bisa menghela napas. Tak berapa lama kemudian, papa telah ada dihadapannya. Ayu bersorak riang.
“Ayo Yu, Papa antar!” ajak papa.
“Oke, Pa!”
“Oh ya Ma, papa pergi sebentar mengantar Ayu!”
“Anak sama Bapak sama saja. Nanti kalau terserang penyakit baru tahu rasa,” mama menggerutu.
Sepuluh menit berlalu. Kini, Ayu dan papa telah sampai. Ketika Ayu turun dari mobil, anak-anak mulai berlari mengerumuni lalu menyalami Ayu dan papanya.
“Wah! Kak Ayu kaya ya, ada mobil,” celutuk Erwan.
“Iya ya! Kak Ayu kaya. Cantik lagi. Enak ya, jadi Kak Ayu,” sahut Puspa tak mau kalah.
“Ini siapa Kak Ayu?” tanya Yeni.
“Ini Papa Kak Ayu, Yen!”
“Oh…..”
“Ayo adik-adik, kita mulai belajar. Hari mulai sore!”
“Ayo, Kaaak!”
Sore ini, Ayu akan mengajarkan menulis dan mengenalkan angka kepada Yeni dkk. Dengan telaten, Ayu mencontohkannya di papan tulis. 1-2-3-4-5. Dari jauh, papa melihat Ayu tersenyum bangga.

**0**
Hari ini, mama yang mengantar Ayu sekolah. Karena setelah itu, mama akan belanja keperluan sehari-hari di supermarket. Selama perjalanan menuju sekolah, sikap mama masih saja dingin sama Ayu. Mama hanya berkata seperlunya. Tidak seperti hari kemarin-kemarin. Mama yang selalu mengajak Ayu mengobrol.
Sejurus kemudian, Ayu melihat kelebatan dua orang yang menyeruak dari semak-semak. Seketika Ayu dan mama kaget saat mereka menghadang tepat di depan mobil. Mendadak mama mengerem. Tampang mereka garang, menyeramkan. Lalu mereka mengetuk kaca mobil dengan sangat kasar.
“Buka kaca mobilnya!” seru laki-laki yang ada di dekat kaca mobil mama sambil menodongkan pisau.
Mama kebingungan. Sedang Ayu mencoba untuk tenang.
“Serahkan perhiasaan yang Anda pakai, dompet, dan hp!” perintahnya kemudian.
Saat mama hendak melepas kalungnya, dari kejauhan Ayu mendengar suara teriakan anak laki-laki. Entah teriakan siapa itu.
“Mang Udiiin, Stoopp!!! Jangan memalak mobil itu. Mobil itu punya papa Kak Ayu!” teriak bocah itu dengan lantang.
Lelaki yang dipanggil Mang Udin itu menoleh ke arah bocah yang memanggilnya. Bocah itu makin mendekat kian dekat.
“Erwan!” desis Ayu di dalam mobil.
“Kamu kenal dengan bocah itu, Yu?” tanya mama pelan.
“Iya Ma, Ayu kenal. Itu Erwan. Salah satu bocah yang Ayu ajar,” terang Ayu.
“Ayo, kalau Mang Udin berani memalak mobil ini, nanti Erwan kasih tau Bapak!” kata Erwan dari luar mobil.
“Iya…Iya.. Mang Udin nggak jadi. Ayo Min, kita kabur!” ajak Mang Udin pada Mang Amin, temannya.
Kedua laki-laki itu langsung berlari. Gegas Ayu membuka pintu mobilnya, lalu menghampiri Erwan.
“Erwan? Kok Erwan ada di sini??” tanya Ayu seraya mengerutkan keningnya.
“Tadi Erwan mulung di sana, Kak. Lantas Erwan melihat mobil papa Kak Ayu ini dipalak sama Mang Udin dan Mang Amin. Ya, Erwan cegah dong,” ujarnya.
“Kak Ayu heran, mengapa mereka berdua sampai takut sama Erwan ya?”tanya Ayu tak percaya.
“Oh… kebetulan Bapak Erwan dulu preman besar di kawasan ini, Kak! Bapak cukup disegani. Tapi sekarang Bapak sudah tobat,” katanya dengan polos.
“Oooo.. gitu ya! Oh ya, kok Erwan tahu kalau ini mobil Papa Kak Ayu?”
 “Beberapa hari yang lalu, Erwan ingat Papa Kak Ayu ikut mengantar Kak Ayu pakai mobil ini. Terus yang paling Erwan ingat, nomor mobilnya, 1212 kan?”
Ayu tersenyum lebar. Lalu memeluk Erwan dengan erat sambil berkata lembut; “Terima kasih ya Wan telah menolong Kakak dan Mama Kakak!”
Mama yang ada di dalam mobil tak mampu berkata apa-apa. Mata mama berkaca-kaca. Ya Allah, terima kasih engkau telah mengaruniakan Ayu kepada saya. Ia memang anak yang berbakti. Berarti selama ini saya terlalu keras mendidiknya, gumam mama.

**0**
Sudah tiga hari Ayu sakit. Dokter bilang dia hanya kecapekan. Maka Ayu butuh istirahat yang cukup. Kini, Ayu terbaring di atas kasur. Dia merasa menjalani hidup yang begitu jenuh. Tapi untunglah, teman-teman sekolah, wali kelas, dan beberapa tetangga datang menjenguk. Ayu merasa terhibur. Ayu pun semakin terhibur dengan kehadiran Yeni dkk dan mama yang selalu ada di sampingnya.
Seminggu sudah Ayu berbaring di atas kasur. Kini, dia bisa kembali ke sekolah lagi. Kembali berkumpul dengan teman-temannya. Dan, kembali mengajar Yeni dkk.
Seperti biasa, sore ini Ayu telah bersiap-siap untuk pergi mengajar. Namun sejak tadi, dia tak melihat mamanya. Bertanya Ayu pada Bik Iyem, namun Bik Iyem menjawab pendek; Nyonya pergi arisan, Non! Tak berapa lama kemudian, papa muncul.
”Sudah lama Yu, menunggunya?”
”Iya, Pa! Haaam..pir saja Ayu mau pakai sepeda ke sana!
”Mau ngecewain papa ya!” ledek papa.
”Nggak, Pa... Ayu cuma bercanda. Hehehe...”
Ayu dan papa mulai meluncur ke rumah Yeni dkk. Di dalam perjalanan, tiba-tiba wajah kesebelas anak-anak itu melintas di benak Ayu. Wajah-wajah lugu yang memiliki semangat tinggi untuk meraih ilmu juga mimpi itu seolah selalu mampir setiap geraknya.
Masih membekas di benak Ayu, saat dia menanyakan perihal cita-cita. Beragam cita-cita yang mereka lontarkan, ada yang ingin menjadi dokter, polisi, tentara, bidan, sampai presiden. Mendengar itu, air mata Ayu ingin tumpah, namun tetap coba dia tahan.
Lima belas menit berlalu. Kini, Ayu telah sampai di tempat mengajarnya. Namun sedetik kemudian, mata gadis yang duduk di kelas sebelas itu membelalak kaget. Mulutnya menganga. Tempat biasanya dia mengajar kini telah disulap menjadi sebuah rumah kecil. Rumah berpapan kayu beratap seng. Bersegera Ayu berlari-lari kecil menuju ke sana. Dia sudah diselimuti rasa cemas yang tinggi. Kemana anak-anak? Tanyanya dalam hati.
Tiba di depan pintu, Ayu benar-benar tidak percaya. Di sana sudah ada mama mengajarkan anak-anak. Dan, yang membuat dia tercengang anak-anak tidak lagi menulis lesehan di lantai beralas kardus, melainkan sudah menulis di atas meja dan duduk di kursi. Ayu benar-benar tak menyangka. Jika kini sifat mamanya telah berubah seratus delapan puluh derajat.
“Mama?”
 “Ayu?” jawab mama sembari menoleh ke arah Ayu.
Ayu menghampiri mamanya.
“Siapa yang membangun semua ini, Ma?” tanya Ayu bingung.
“Yang membangun semua ini adalah Mamamu, Yu,” jawab papa dari balik pintu lalu mendekat ke arah Ayu dan mama.
“Semua ini juga berkat bantuan Papamu, kok Yu.”
“Jujur Ma-Pa, Ayu tak bisa berkata-kata lagi. Ayu hanya bisa mengucapkan terima kasih banyak karena Mama dan Papa telah bersedia memberikan semua fasilitas ini kepada anak-anak yang ada di sini. Ayu janji akan tetap semangat mengajar mereka. Ayu janji akan membantu mereka tuk meraih cita-cita mereka,” ujar Ayu mantap.
Papa dan mama memandang Ayu, lama. Lalu mereka tersenyum bangga. Kemudian, Ayu memeluk papa dan tak lama setelah itu dia memeluk mamanya.
“Maafkan Mama ya, Yu! Kalau selama ini mama terlalu ketat mendidikmu. Kau memang permata hati mama yang selalu bersinar terang. Terima kasih kau telah membuat Mama bangga,” ucap Mama sambil memeluk Ayu erat serasa tak mau melepaskannya.
Anak-anak yang melihat pemandangan itu bertepuk tangan dan bersorak-sorai.


Bumi Sriwijaya yang damai, 12 Mei 2012





2 comments:

Anonymous said...

meengharu biru,,,

Nyayu Amibae said...

hmm,, gambaran kehidupan yang syarat makna,, ketika harus terjadinya suatu keseimbangan yang hakiki,,, keadaan kaya mesti ada miskin, bagai siang dan malam yang selalu datang beraturan,,

hmm,, kepedulian terhadap sesama,, cerita yg menarik sob ku wong kito,,hehe

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers