Mimpi Ilyas

Oleh Ilham Buchori


Langit mendung. Awan membentuk gumpalan hitam yang menggulung. Petir saling bersahut-sahutan menyerupai insan yang tengah bersenandung. Ilyas berlari-lari kecil dengan membawa sangkek1 pempek dan botol cuko2 menuju bawah jembatan Ampera. Berteduh ia di sana. Tak berapa lama, hujan pun tercurah. Lebat, lebat sekali. Sepertinya tubuh Ilyas kedinginan. Namun berusaha ia menahannya.
Ilyas adalah seorang pedagang pempek keliling. Ia menjajakan pempeknya dari satu rumah ke rumah lainnya. Kadang pula ia menjajakan pempeknya di tempat keramaian, seperti pada saat tradisi Bidar3 di Benteng Kuto Besak atau perayaan Cap Go Mee di Pulau Kemaro. Hampir setahun ia melakoni pekerjaan itu.
Awalnya, Ilyas menggelar dagangannya di pasar tak jauh dari rumahnya. Satu, dua hingga tujuh bulan dagangannya laris. Banyak konsumen yang membeli pempeknya. Ada yang langsung makan di tempat. Ada pula yang membawa pulang.
Namun berjalan delapan bulan, Ilyas benar-benar kaget. Saat ia menggelar dagangannya, dua orang laki-laki yang tak dikenal datang menghampirinya. Wajah mereka garang. Satu dengan tato di leher, satunya lagi rambut gondrong yang dikuncir. Tanpa ba-bi-bu, mereka langsung mendaratkan pukulan ke wajah Ilyas. Sempat Ilyas berontak, namun ia kalah tenaga. Ilyas diperingatkan kedua lelaki itu untuk tidak lagi menggelar dagangannya.
Keesokan harinya, Ilyas pun memutuskan untuk tidak menggelar dagangan di pasar itu lagi. Ia beralih dengan menjajakan pempeknya dengan cara berkeliling. Ilyas yakin, kedua laki-laki itu adalah suruhan Pak Jul, pemilik kedai pempek terbesar di pasar itu. Pak Jul memang sosok pedagang yang iri. Ia menghalalkan segala cara untuk melumpuhkan saingannya.

***
Hari demi hari dilewati Ilyas dengan berdagang pempek. Ingin ia seperti Aldo atau Helmi, teman SD-nya. Bekerja di perusahaan ternama dengan gaji besar. Tapi sayang, Ilyas hanya mengantongi ijazah SMP. Sempat ia menyambung SMA, namun putus di tengah jalan. Aku tidak boleh menyerah pada nasib, pikir Ilyas. Ilyas terus berjalan menjajakan pempeknya. Ia memasuki lorong demi lorong. Gang sempit. Melintasi jalan becek. Melawan debu jalanan.
Lima belas menit berlalu. Kini, ia sampai di sebuah sekolah dasar. Ilyas mencoba menunggu pembeli. Tak berapal lama, bel berbunyi panjang. Anak-anak menghambur dari kelasnya. Menyerbu setiap jajanan yang digelar di depan gerbang. Ilyas menunggu. Satu, dua, tiga anak membeli pempeknya. Semakin lama semakin banyak anak-anak yang mengerumuninya. Dagangannya laris. Ia menghitung uang. Lembaran demi lembaran uang seribu baru bercampur lecek telah digenggamannya. Tiga puluh ribu rupiah. Lumayan, gumam Ilyas.
Semenit kemudian, seorang pemilik warung jajanan yang berada di sudut gerbang mendatanginya. Ilyas kaget. Ibu itu membawa kayu balok. Raut wajahnya memerah. Menunjukan ia tengah marah. Entah dengan siapa.
“Hei! Kamu ngapain jualan di sini?”
“Memangnya tidak boleh ya, Bu?”
“Tidak boleh. Ini daerah Saya. Kamu mau berlari, atau saya gebuk pakai balok ini!”
Ilyas setengah terbirit, kaget dengan ancaman ibu itu. Ditinggalkannya tempat itu. Dari sana, ia berjalan perlahan menuju jalan raya. Ilyas terus menyusuri jalanan. Matahari terus merangkak mengikuti laju perjalanannya.
Tak berapa lama, ia mendekati sebuah kantor yang berdiri angkuh lalu berusaha menjual pempeknya di depan gerbang kantor itu. Namun belum lima menit ia duduk, seorang satpam mendekatinya. “Maaf Dik, jangan menggelar dagangan di sini. Tidak enak dengan tamu. Cari tempat lain saja.”
Gegas Ilyas meninggalkan tempat itu. Lalu ia berjalan pelan menuju kantor lain sesekali menyeka keringat yang menetes dari keningnya. Sesampai di sebuah pohon rimbun di pinggir jalan, Ilyas duduk di bawahnya. Berteduh ia dari sengatan matahari sambil memandangi barisan gedung perkantoran di seberangnya.
Di samping gedung perkantoran itu, ada pula gedung yang sedang dibangun. Kapan ya, aku bisa punya toko pempek sendiri, harap Ilyas. Sejurus kemudian, dari seberang jalan sana seorang ibu muda melambaikan tangan ke arahnya, lalu memanggilnya. Secepatnya Ilyas menghampiri ibu itu. Ia menyeberang dengan hati-hati.
“Berapa harga pempeknya, Dik?” tanya ibu muda itu ketika Ilyas sampai di tempatnya.
“Satunya seribu rupiah, Bu!” jawab Ilyas.
“Saya beli 30 buah ya. Campur-campur saja pempeknya!” kata ibu itu.
Ilyas kaget dengan angka yang disebutkan ibu itu. Ia seperti tak percaya. Baru kali ini, ia dibeli oleh konsumen sebanyak itu. Dengan lembut, kembali Ilyas bertanya dengan ibu itu. Ia takut salah dengar.
“Beneran, Ibu mau beli 30 buah?”
“Iya, 30 buah, Dik. Oh ya saya ambil satu ya!”
Ibu itu mengambil sepotong pempek ketilan, lalu memakannya. Dengan sigap, Ilyas melayani ibu itu. Diambilnya 29 buah pempek, terdiri dari pempek telur kecil, lenjer kecil, ketilan, kulit, keriting, pistel, dan tahu. Kemudian, ibu itu memberikannya selembar lima puluh ribu.
“Enak ya Dik, pempeknya. Buat sendiri atau ambil upahan?”
Emek4 saya yang buatnya, Bu.”
“Oooo….”
“Ini Bu, kembaliannya!”
Ibu itu menerimanya, lalu ia segera berbalik arah, menuju pintu kantor.  Ketika ibu itu hendak melangkah, Ilyas memanggilnya pelan.
“Buuu…”
Ibu itu menoleh.
“Ada apa, Dik?”
Sejenak Ilyas ragu untuk mengutarakan maksudnya. “Ngg… Ngg… Begini, Bu. Boleh tidak saya berjualan di depan gerbang kantor ini?”
“Oh… Gimana ya Dik. Setahu saya nggak boleh atasan. Tapi nggak tahu kalau di dalam. Pasalnya di dalam hanya ada satu kantin. Itu pun kantinnya menjual nasi dan lauk-pauk saja. Coba nanti saya bilang ke kepala bagian saya. Adik tunggu di sini dulu ya!”
Ilyas menunggu. Ibu itu bergegas masuk. Sesekali Ilyas memandangi bangunan kantor. Seorang satpam datang menghampirinya semenit kemudian.
“Sedang menunggu siapa kamu di sini, Dik?” bentaknya.
“Saya sedang menunggu ibu muda yang tadi, Pak.” Jawab Ilyas.
“Siapa yang ibu muda yang kamu maksud itu! Di sini banyak karyawan perempuan.”
“Anu Pak… Ibu yang memakai blazer cokelat tadi. Iya, pakai blazer cokelat tadi.”
Berselang beberapa kemudian, ibu itu muncul. Lalu mendekati Ilyas yang tengah terlibat pembicaraan dengan satpam kantor itu.
“Ayo Dik, ikut saya bertemu dengan kepala bagian saya,” ajak ibu itu pada Ilyas.
“Bu Ratna! Siapa Bu Ratna dia ini?” tanya satpam itu pada Bu Ratna.
“Kamu tak perlu tahu siapa dia, Ton. Dia mau saya temukan dengan Pak Syarif.”
“Oooo…,” jawab satpam bernama Toni itu sambil manggut-manggut.
Ibu Ratna kemudian mengantar Ilyas ke ruang Pak Syarif. Diketuknya pelan pintunya, lalu Ilyas dipersilakan masuk. Ilyas ternganga melihat ruangan bapak itu. Ruangnya besar. Ada komputer, ac, dan peralatan lainnya.
“Siapa namamu, Dik?” tanya Pak Syarif ketika Ilyas telah duduk.
“Nama saya Ilyas Pratama, Pak. Bapak bisa panggil saya Ilyas.”
“Berapa umurmu?”
“24 tahun, Pak!”
Mereka lalu terlibat percakapan panjang. Ilyas kemudian menceritakan tentang ayahnya yang selama ini meninggalkannya dan menikah lagi dengan wanita lain, tentang adiknya yang masih sekolah kelas tiga SMP, tentang emeknya yang ikut bekerja keras membantunya membuat pempek, dan segala hal tentang dirinya. Sifatnya yang santun atau wajahnya yang lugu membuat hati Pak Syarif tersentuh. Dengan setia, Pak Syarif mendengarkannya.
“Oke, saya perbolehkan Dik Ilyas dagang pempek di sini. Tapi ada syaratnya, Dik Ilyas harus turut menjaga kebersihan dan  keindahan kantor ini. Setuju!”
“Setuju, Pak.”
Ilyas sempat tak percaya ada orang yang bersedia menumpanginya berdagang secara cuma-cuma. Ilyas kemudian menyalami Pak Syarif. Berkali-kali ia mengucapkan rasa terima kasih pada lelaki berhidung bangir itu.
***
Ilyas melirik jam yang menggantung di rumahnya. Jarum pendeknya tepat menunjuk angka delapan. Namun sampai kini, emeknya belum selesai menggoreng pempek. Ilyas semakin gusar. Ia tak mau mengkhianati Bu Ratna dan Pak Syarif yang telah baik hati memberikan tempat berjualan.
Lima belas menit kemudian, Ilyas lega. Emeknya telah menyelesaikannya. Buru-buru Ilyas berjalan keluar lorong. Lantas menumpangi mobil angkutan umum. Selama perjalanan, hatinya diselimuti berbagai rasa takut. Takut terlambat, takut kena marah, takut tidak boleh masuk lagi karena keterlambatannya, dan sejumlah ketakutan lainnya.
Kini, Ilyas telah sampai tepat di seberang kantor. Ia membayar ongkos mobil lalu menyebrang. Sesampainya di kantor yang bernama PT Jaya Selalu itu, secepatnya Ilyas menggelar dagangannya di atas meja kecil. Tak lama, Bu Ratna mendatanginya. Ilyas tersenyum lebar.
“Bagaimana Ilyas, senang dagang di sini?”
“Alhamdulillah, Bu. Terima kasih banyak sudah menumpangi saya dagang di sini.”
“Oh ya, saya pesan 10 buah. Banyakin pempek telur kecilnya saja.”
“Baik, Bu.”
Berselang beberapa menit kemudian, satu persatu karyawan lainnya mendatangi Ilyas. Mereka ada yang membeli dua, tiga, empat, sampai sepuluh. Ilyas bahagia. Dagangannya laris manis.
***
Tak terasa, sudah hampir empat bulan Ilyas berjualan pempek di kantor yang bergerak di bidang kontraktor itu. Ia senang. Bisa menjual satu buah pempeknya seharga seribu lima ratus rupiah. Terlebih hari ini. Ia mendapat pesanan dari Pak Chandra, kepala keuangan yang memesan 100 buah pempek. Pak Chandra lagi ulang tahun, kata seorang karyawan. Dengan hati-hati, Ilyas menyebrang jalan dengan membawa beban yang berat. Terbersit dibenaknya untuk mengeredit sepeda motor. Namun ia tak paham bagaimana prosedurnya.
Sesampai di kantor, ia langsung menuju ruang Pak Chandra. Diberikannya pesanan itu, lalu ia menuju tempatnya berjualan. Ketika ia tengah menggelar dagangannya, seorang karyawan datang membeli pempeknya. Ilyas sudah akrab dengan karyawan itu. Deddy, namanya.
“Ayo Mas Dedy, pempeknya masih hangat nih. Silakan dipilih!”
Mas Deddy menuang sendiri cuko-nya ke dalam mangkuk kecil, lalu mengambil pempek kulit, pempek kesukaannya.
“Mas, Ilyas boleh nanya nggak?” tanya Ilyas pada Deddy yang sedang asyik menikmati pempeknya.
“Boleh. Kenapa Yas?”
“Gini Mas, Ilyas mau mengeredit motor, tapi Ilyas tidak paham bagaimana caranya.”
“Oooh, kamu mau mengeredit motor. Kalau kamu mau, nanti saya temani di showroom yang ada di pengkolan sana. Kebetulan showroom itu lagi ngadain undian. Gimana?”
“Iya Mas, Ilyas mau. Nanti siang, mau kan Mas Deddy temani Ilyas?”
Deddy hanya menganggukan kepala, mengisyaratkan ia bersedia menemani Ilyas.

***
Lepas subuh, Ilyas pergi ke pasar. Hendak membeli ikan tenggiri, tepung sagu, dan bahan lainnya untuk membuat pempek. Dinyalakannya sepeda motor, lalu ia siap meluncur ke pasar. Sedang di rumah, emeknya memasak cuko dan menyiapkan peralatan lainnya. Semenjak ia mengeredit sepeda motor, semenjak itu pula emeknya ikut berjualan pempek di depan rumahnya. Untuk menambahi biaya cicilan sepeda motor, ujar emeknya suatu ketika.
Setelah semua bahan dibeli, Ilyas secepatnya pulang ke rumah. Dengan perlahan, ia mengendarai sepeda motornya menuju persimpangan. Suasana fajar masih sangat lengang. Hanya sorot lampu jalan yang menerangi kegelapan aspal. Tak berapa lama, tiba-tiba mobil truk sayur dengan kecepatan tinggi datang melaju lurus mendekat ke arahnya. Berusaha Ilyas menghindar. Namun, ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhempas di aspal. Barang belanjaannya berhamburan di jalan. Tidak sadarkan diri ia. Mobil truk sayur itu terus melaju. Tak menghiraukan Ilyas yang telah terkapar lemah.
Dua jam kemudian, tubuh Ilyas telah terbaring di atas kasur rumah sakit. Kakinya dibalut perban. Emeknya tak bisa menahan isak tangisnya. Wanita paruh baya itu lalu menciumnya dan memeluknya erat-erat. Dalam dekapan wanita itu, tiba-tiba Ilyas terbangun dari tidur. Ia merintih kesakitan. Berusaha wanita itu mencoba menenangkan.
“Sabar, Nak. Semua ini cobaan dari-Nya.” emek berusaha menasehati di antara tangisnya.
Ilyas hanya memangguk pelan. Menandakan ia menerima ujian ini.

***
Selama sakit, Ilyas menjalani hidup yang begitu jenuh. Minum obat-pergi terapi untuk pengobatan kakinya yang patah akibat ditimpa sepeda motornya. Kadang ia merasa kasihan melihat emeknya harus berjuang sendiri. Mulai dari ke pasar, membuat pempek sendiri, sampai menjualnya ke kantor tempat biasanya ia berdagang. Selama ia sakit, memang emek yang menggantikan posisinya. Kalau tidak begitu, dapur mereka tidak bisa mengepul dan tidak bisa membayar cicilan sepeda motor.
Dengan langkah hati-hati, Ilyas berjalan menuju emeknya yang berada di dapur. Dari dekat, Ilyas melihat emek mencuci piring.
“Mek, biar Ilyas saja besok yang dagang pempek. Emek dagang di rumah saja. Ilyas sudah bisa kok berjalan.”
“Jangan, Yas. Sebaiknya Emek saja yang berjualan. Kamu istirahat saja dulu sambil menemani Nina di rumah.”
“Tapi Mek, Ilyas kasihan lihat Emek. Harus banting tulang menghidupi Ilyas dan Nina. Sedangkan Ilyas, harus bersantai di rumah. Ilyas tidak tega, Mek!”
Sejenak emek meninggalkan piring-piring setengah kotor itu, lalu segera memeluk Ilyas. Air mata emek bercucuran.
“Emek bangga punya anak sepertimu, Yas. Emek harap kau jangan seperti Bapakmu!” bisik emek disela tangisnya.
“Jangan sebut lagi pria brengsek itu, Mek. Ilyas tak sudi, memanggilnya Bapak. Ilyas janji untuk tidak menuruti sifat buruknya yang selalu memukul Emek.”
Emek semakin memeluk Ilyas erat, serasa tak mau melepaskannya. Emek terharu. Benar-benar terharu.
***
Pagi ini, Ilyas telah siap dengan dagangannya. Ia menyewa jasa ojek menuju tempat berjualannya. Duduk ia berboncengan dengan hati-hati. Ilyas masih trauma dengan kecelakaan yang menimpanya. Kalau ingat itu, ia merasa was-was dan takut.
Setibanya di sana, ia berjalan sangat hati-hati. Bersitatap ia dengan karyawan yang dikenalnya. Lalu Ilyas menyapa ramah. Beragam sapa dan tanya pun kembali dilempar karyawan pada Ilyas; sudah baikan Yas, hati-hati Yas, dan sejumlah sapa dan tanya lainnya.
“Oh ya Mas, setelah sebulan Ilyas nggak jualan, pusat perbelanjaan di samping kantor ini hampir rampung ya?” kata Ilyas pada seorang karyawan pria.
“Iya, Yas. Jadi kami nggak jauh-jauh lagi kalau mau beli cemilan. Tapi kamu jangan khawatir, kok! Kami tetap membeli pempekmu yang enak dan murah ini.” celotehnya.
Ilyas tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi. Seketika sebuah pertanyaan besar hinggap di kepala Ilyas. Mengapa aku tidak menyewa tempat saja di depan pusat perbelanjaan itu untuk berjualan pempek? Kalau aku buka satu lagi, otomatis aku bisa segera mewujudkan cita-citaku menjadi pengusaha pempek, gumamnya.
Maka, sebelum pulang, Ilyas meminta Mang Jaya, tukang ojeknya untuk menunggu sebentar. Ia ingin bertanya perihal biaya sewa di depan pusat perbelanjaan baru itu. Siapa tahu harga sewanya murah. Dengan sifatnya yang berani, Ilyas bertanya pada seorang satpam yang tengah berjaga-jaga.
“Permisi, Pak!” sapanya sopan.
“Oh iya. Kamu cari siapa?”
“Gini Pak. Kalau kita mau menyewa lapak di depan ini dengan siapa ya?”
“Oooh, Adik mau sewa tempat di depan ini. Mari, saya antar dengan asisten pemilik pusat perbelanjaan ini.”
“Terima kasih, Pak!”
Lelaki tua itu lantas mengantar Ilyas ke sebuah ruang kecil di bawah tangga. Bapak tua itu mengetuk pintunya, lalu Ilyas disuruh masuk.
“Ada yang perlu saya bantu, Dik?”
“Saya mau menyewa lapak di depan pusat perbelanjaan ini, Pak. Omong-omong berapa ya biaya sewa satu bulannya?”
“Satu bulannya hanya 1 juta saja. Mau nggak kamu?”
“Mahal sekali, Pak. Tidak bisa kurang harganya, Pak?” kata Ilyas masih berusaha sopan.
“Kalau kamu nggak mau, ya sudah. Jauh-jauh sana. Kamu miskin gayamu sebakul. Pakai acara mau sewa tempat segala,” bapak itu menggerutu.
Ilyas pamit, lalu pergi dengan tergesa. Sepanjang perjalanan, hati Ilyas sesak.  Ingin sekali ia menghadiahkan kepalan tangan ke muka bapak sombong itu. Namun percuma. Ia tak mau berurusan dengan polisi.
Setiba di rumah, air muka Ilyas keruh. Saat ia memberi salam, emeknya tak menyahut. Mencari Ilyas ke kamar, namun tak ditemui emek di sana. Kembali dicari emeknya di dapur, lagi-lagi tak dijumpainya. Ilyas mengerutkan dahi, ke mana emek? Tanyanya dalam hati.
Di meja makan, dilihatnya sepiring kecil kue jando beraes5 sudah tersedia. Ilyas melangkah menuju meja makan, kemudian duduk ia di atas kursi. Dituangnya segelas air minum dari teko alumunium lalu diteguknya pelan. Tiba-tiba pikirannya kembali teringat pada penolakan kasar bapak tadi. Kata-kata itu membuat hatinya teriris, perih.
”Kamu sudah pulang Yas?”
Sentak Ilyas kaget lalu menoleh ke arah emeknya.
”Emek dari mana saja?”
”Emek dari rumah Bik Hindun, Yas. Lihat anaknya, si Norman pulang dari rumah sakit. Dia terserang demam berdarah kata dokter.” terang emek.
”Oh ya, Yas. Tadi ada Pak Pos datang. Lalu memberikan sepucuk surat untukmu. Emek tak berani membukanya. Sebentar, emek ambil dulu di kamar,” kata emeknya kemudian.
Lekas emek mengambil surat itu, lantas diberikannya pada Ilyas. Setelah itu, emek kembali menuju kamar. Hendak beres-beres. Pelan-pelan Ilyas membuka amplopnya. Lalu dibacanya perlahan. Ternyata surat itu datang dari shoowroom tempat ia membeli sepeda motor enam bulan yang lalu. Tak berapa lama, rona kebahagiaan terpancar dari wajah Ilyas. Diulanginya sekali lagi kalimat yang membuat hatinya bahagia itu: Selamat, Anda memenangkan hadiah utama 1 unit mobil!
Gegas Ilyas menghampiri emeknya di kamar. Diberitahukannya kabar baik ini. Emek berteriak girang lalu mengucap rasa syukur. Emek sungguh tidak percaya. Kemudian keduanya saling berpelukan. Erat, erat sekali. Mata keduanya berkaca-kaca. Tiba-tiba pikiran Ilyas berkelana ke mana-mana. Ia telah terbayang untuk menjual mobil itu, lalu uang hasilnya dipakai untuk menyewa bahkan membeli toko untuk berjualan pempek. Ia ingin mewujudkan cita-citanya kecil dulu, menjadi seorang pengusaha.

Keterangan :
1. Keranjang
2. Kuah/saus yang biasa digunakan untuk cocolan makan pempek
3. Festival Perahu Trasidional atau Lomba Dayung yang dilakukan oleh warga Palembang     dan sekitarnya di sungai Musi. Biasanya penonton bisa menyaksikannya di tepian Sungai Musi, salah satunya di Benteng Kuto Besak. Biasanya dilaksanakan pada acara 17 Agustusan
dan HUT Kota Palembang
4. Panggilan kepada ibu, mama, atau bunda dalam bahasa Palembang
5. Salah kuliner khas Palembang

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers