ZIARAH KUBRO
Kamal
mengemas beberapa potong pakaiannya. Tak lupa, baju koko putih ia selipkan ke
dalam koper. Kamal ingin pulang ke Palembang. Seminggu lagi, bulan Ramadhan
tiba. Sudah menjadi kebiasaannya untuk melakukan ziarah ke makam kedua
orangtuanya sekaligus mengikuti tradisi ziarah
kubro1 di kota yang terkenal dengan sebutan Venesia dari Timur
itu.
Tak
berapa lama, perlahan pintu berderit. Seorang wanita mengenakan daster
bunga-bunga berjilbab ungu menuju ke arah Kamal. Setelah mendekat, duduk ia di
samping Kamal.
“Pa,
nanti pulangnya jangan lupa bawa pempek dan kerupuk khas Palembang ya!”
“Iya
Ma, pasti Papa bawakan. Bila perlu sama penjualnya.”
Keduanya
terbahak kecil – saling pandang, lalu seulas senyum merekah dari bibir kedua
insan itu.
***
Pesawat
yang membawa Kamal dari Soeta telah sampai di
Bandara Sultan Mahmoed Badarudin II Palembang.
Gegas Kamal merogoh ponselnya. Dihubunginya Bang Amin – kakak tertuanya.
Berkali-kali ditelepon, tapi tak ada jawabnya. Kamal mendesah panjang. Maka ia
memutuskan untuk menumpangi busway.
Melangkah Kamal menuju halte. Menunggu ia di sana. Beberapa menit kemudian, busway menghampirinya.
Satu persatu penumpang mulai melangkah masuk, mengisi kursi
yang kosong. Kamal memilih kursi yang ada di sudut. Ia ingin meregangkan otot,
menyandarkan punggungnya di kursi. Tak lama kemudian, supir mulai membawa busway dengan kecepatan sedang.
Perlahan
semakin perlahan, busway yang
ditumpangi Kamal melewati Masjid Agung Palembang. Mata Kamal tertuju pada puncak
menara masjid yang berbentuk runcing dengan hiasan jurai dan ukiran khas
Palembang yang ada di tiap dinding-dinding masjid. Dari jauh, masjid itu
kelihatan anggun nan megah. Tak lama setelah itu, busway melintas pelan di atas Jembatan Ampera. Sejurus kemudian,
Kamal melempar pandangnya ke luar. Dilihatnya kapal dan getek2 berjalan pelan membelah Sungai Musi. Hhmm,
indahnya sungaiku, gumam Kamal.
Lima
belas menit kemudian, Kamal sampai di depan lorong rumahnya. Beberapa pengemudi
ojek lalu mendekat. Kamal menganggukan kepala kepada salah satu pengemudi.
Duduk mantap ia di atas jok motor, lalu pengemudi ojek mulai menyalakan mesin
menuju rumah Kamal. Jalan yang dilaluinya kini tak ubahnya dengan setahun
silam. Rumah-rumah panggung berbahan kayu lama masih berdiri di sepanjang
jalan. Lapangan sepak bola dengan rumputnya yang mulai menghijau. Ada anak-anak
perempuan tengah bermain yeye3
di sana. Ada pula anak laki-laki yang bermain ekar4. Wajah-wajah mereka memancarkan rasa senang.
Kini,
Kamal telah sampai di depan rumahnya. Rumah Limas peninggalan orangtuanya itu
kelihatan tampak baru. Dindingnya dicat. Gentingnya diganti baru. Di rumah
Limas itu kini hanya ada Bang Amin dan anak istrinya. Sementara Nyimas, si
bungsu tinggal bersama suaminya di Kota Kembang. Perlahan ia menaiki anak
tangga. Lalu Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Tidak ada
sahutan dari dalam. Diketuk lagi agak keras. Tetap tidak ada
jawaban.
“Bang Amin! Bang Amin!” teriak Kamal di muka pintu.
Beberapa
saat kemudian, seorang bocah membukakan pintu. Kamal kaget, mulutnya menganga.
Bocah itu asing baginya. Sama sekali Kamal tidak mengenalinya. Sementara yang
ia tahu anak Bang Amin perempuan. Zakia namanya. Bertanya Kamal dalam hati.
Siapa bocah laki-laki ini? Mengapa ia yang membukakan pintu? Kemana Bang Amin
dan Mbak Maya?
“Silakan
masuk Om! Ayah lagi di kamar mandi!”
Ayah?
Kamal membatin.
Kamal
makin bingung. Keningnya berlipat tiga. Bocah itu gegas masuk ke dalam menemui
Bang Amin. Lalu Kamal melangkah ke ruang tamu. Duduk ia di kursi jati yang
dibeli almarhum ayah di Pasar Cinde.
“Kamaal?”
Kamal
menoleh ke arah yang memanggilnya.
“Kok,
Bang Amin nggak menjawab panggilan dariku?” keluh Kamal pada abangnya.
“Maaf
Mal, Abang tadi masih tidur. Semalam Abang habis mengantar Diana ke rumah
orangtuanya. Bapaknya sakit!” papar Bang Amin.
“Diana?
Siapa perempuan itu, Bang? Mana Mbak Maya dan Zakia?” selidik Kamal.
Bang
Amin terdiam sejenak. Pandangannya jauh menerawang.
“Abang
bercerai dengan Maya, Mal. Kemudian Abang menikah lagi dengan perempuan lain,”
jelas Bang Amin pelan.
“Jadi,
Diana itu nama istri baru Bang Amin dan bocah laki-laki yang membukakan pintu
tadi itu pasti anaknya?” kata Kamal dengan suara agak meninggi.
“Iya,
Mal. Maaf kalau Abang tidak berbicara kepadamu lagi. Abang takut kau marah.”
Kamal
bangkit dari duduknya. Ditinggalkannya Bang Amin. Menuju ia ke kamar.
Dikuncinya rapat-rapat pintu kamar. Ia malas berbicara kepada abangnya untuk
saat ini. Kemudian ia rebahkan tubuhnya ke kasur. Mendadak Kamal terbayang wajah
ayah dan ibunya. Semasa hidup, mendiang ibu selalu berpesan kepada ia dan
saudara lainnya untuk tidak bercerai. Ada gurat kecewa di wajah Kamal kini
melihat tingkah abangnya.
Ketika
mata Kamal hendak terpejam, tiba-tiba Maher Zain bersenandung merdu lewat Thank You Allahnya. Kamal tersentak.
Buru-buru dirogohnya hp yang ada di saku celananya. Nama Hasan tertera di sana. Lekas ia jawab.
“Wa’alaikum salam, San!
“Sudah
di Palembang, Mal?”
“Sudah,
San. Besok jadi kan, kita ikut ziarah kubro?”
“Jadi
dong! Nanti kita ketemuan di rumah panggung tempat biasa saja ya!”
“Ok!”
Klik.
Hasan mengakhiri pembicaraannya.
Sedari
SMA, Kamal berteman dengan Hasan. Hingga kini, hubungan mereka tetap terjalin
dengan baik. Hasan merupakan keturunan Arab. Ayahnya berdarah Arab. Sedangkan
ibunya asli Palembang. Bagi Kamal, Hasan lebih dari teman. Beberapa detik
kemudian, Kamal menguap untuk kesekian kalinya. Kantuk di matanya tak bisa
ditawar lagi. Lalu ia memejamkan matanya untuk beristirahat.
***
Selepas
menunaikan sholat subuh, Kamal bersiap pergi ke Tempat Pemakaman Umum Naga
Swidak bersama Bang Amin. Ia ingin melakukan ziarah ke makam kedua orangtuanya.
Ia sudah siap dengan peci putih dibalut baju koko putih dan sarung putih. Sebab
setelah itu, ia akan pergi mengikuti tradisi ziarah kubro. Bersegera Kamal
melangkah ke luar kamar. Di ruang tamu, Bang Amin telah menunggunya.
“Kita
makan dulu, Mal. Ini Abang sudah menyiapkan model iwak5 dan kue gandus6 untukmu!”
Kamal menganggukan kepala sambil menuju abangnya. Disantapnya
semangkuk model iwak dan sepotong kue gandus.
“Bang Amin ikut ziarah kubro hari ini?”
“Enggak Mal, di toko hanya ada Winda sendiri. Si Jamil hari
ini nggak masuk. Kasihan dia sendiri!”
“Oooo… Ya sudah.”
Tepat jam enam, mereka meninggalkan rumah, lalu menuju Naga
Swidak dengan mengendarai motor gede milik Bang Amin. Setiba di sana, mereka
menabur bunga, membaca surah yasin dan berdoa untuk kedua orangtuanya. Setelah
itu, Kamal meminta abangnya untuk mengantar ia ke pesisir Sungai Musi. Kamal
ingin menumpangi getek menuju Kampung Sungai Bayas yang ada di seberang ilir.
Kampung Sungai Bayas merupakan rute kali pertama dimulainya perjalanan ziarah
kubro.
Perlahan getek yang membawa Kamal mulai melaju pelan menuju
Kampung Sungai Bayas. Deburan riak menerpa getek yang ditumpanginya. Angin pagi
nan sejuk menampar wajahnya. Dilihatnya ibu-ibu paruh baya tengah mencuci
pakaian. Ada pula beberapa anak kecil sedang berenang. Tiba-tiba benak Kamal
melancong pada masa kecilnya. Ia ingat sekali kala itu ia berenang, memancing,
dan mencari remis bersama temannya di Sungai Musi. Kadang remis itu dibakar.
Kadang pula mereka jual. Ketika pulang larut sore, ayah telah siap dengan rotan
panjang. Kamal tersenyum tipis mengingat masa-masa itu.
Getek yang ditumpangi Kamal mulai merapat. Ia langsung menuju
Kampung Sungai Bayas. Umbul-umbul besar berwarna-wrni bertuliskan asma Allah
berjejer menyambut kedatangan Kamal. Ratusan bahkan ribuan laki-laki, baik tua
muda, anak-anak mulai menuju rumah panggung yang berada di tengah Kampung Sungai
Bayas. Hampir dari mereka mengenakan pakaian yang sama. Peci putih dan baju
koko putih dibalut sarung puith. Ada pula yang mengenakan gamis putih. Di rumah
panggung itu akan diadakan pembacaan burdah7 terlebih dahulu baru
kemudian diadakan arak-arakan menuju makam para ulama dan auliya Palembang.
Ketika hendak memasuki gerbang Kampung
Sungai Bayas, seorang menepuk pundak Kamal. Sontak Kamal kaget. Ditolehnya
orang yang menepuk itu.
“Hasan!” Kamal setengah berteriak.
Mereka lalu saling berjabat tangan. Berpelukan. Sudah setahun
mereka tidak bertemu. Rasa rindu kian menyerang mereka. Sambil menyusuri jalan
menuju rumah panggung, mereka bercerita tentang banyak hal. Tentang anak,
istri, pekerjaan, hingga cerita semasa SMA.
“Oh ya Mal, seminggu yang lalu aku bertemu dengan Reni di
Pasar 16 Ilir!”
“Sudahlah San, jangan kau sebut nama Reni lagi. Dia masa
laluku. Dia wanita yang telah melukai hatiku. Aku bosan mendengar namanya!”
Hasan terdiam. Ia tidak berani melanjutkan obrolan lagi.
Kini, langkah mereka semakin dekat dengan rumah panggung yang diklaim sebagai
salah satu rumah panggung tertua di Palembang itu. Ratusan bahkan ribuan orang
telah memadati halaman, garang8,
dan ruang tengah. Kamal dan Hasan mengambil tempat duduk di garang. Mereka ikut
membaca burdah bersama dengan yang lain.
Di tengah ruang rumah, ternyata telah berkumpul Sultan
Palembang, para ulama dan sesepuh, baik yang
datang dari Kota Palembang sendiri maupun dari Pulau Jawa, Kalimantan,
Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Yaman, dan negara-negara lainnya. Untaian demi
untaian burdah semakin lama semakin terdengar merdu. Menyayat hati.
Tak lama setelah itu, pembacaan burdah pun usai. Acara
dilanjutkan dengan melakukan ziarah ke
makam ulama dan auliya Palembang. Di luar rumah, anak-anak dan pemuda pembawa
bendera dan umbul-umbul bertuliskan kalimat tauhid dan grup marawis bersiap
mengatur barisan guna memandu peziarah selama perjalanan. Pula dengan Laskar
Kesultanan Palembang Darussalam yang telah bersiap memayungi Sultan dan para
ulama serta tamu kehormatan dengan payung kesultanan.
Kali pertama, para peziarah
mengunjungi makam Pangeran Syarif Ali
Syeikh Abubakar9 dan keluarga di Boom Baru Kelurahan 5 Ilir
Palembang. Dari Kampung Sungai Bayas, para peziarah yang berjumlah ribuan itu
berjalan menuju Boom Baru. Walau jaraknya cukup jauh, namun tak menyurutkan
langkah para peziarah mengurungkan niatnya.
Selama perjalanan, untaian shalawat
dan qasidah tak henti-hentinya dilantunkan beriring tabuhan gendang. Para
pemuda dengan lincah menabuh gendang. Iramanya beraturan. Menyejukan kalbu.
Setengah jam kemudian, para peziarah
telah sampai di makam Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar. Lalu acara diisi
dengan salam ziarah dan dzikir. Para peziarah menegadahkan tangan lalu
memanjatkan doa kepada sang Khalik untuk almarhum Pangeran Syarif Ali Syeikh
Abubakar. Sebelum meninggalkan makam, para peziarah membaca qosidah shofat li
lebih dahulu.
Dari sana, perlahan arak-arakan para
peziarah berjalan menuju ke komplek pemakaman Sultan Palembang beserta
keluarga. Komplek pemakaman Kawah Tengkurep, namanya. Letaknya di Kelurahan 3
Ilir Palembang. Di barisan terdepan anak-anak dan pemuda masih setia membawa
umbul-umbul berwarna-warni bertuliskan kalimat tauhid. Suara takbir, zikir dan
shalawat terus berkumandang diselingi dengan tabuhan gendang.
Sesampainya di sana, rombongan
peziarah disambut dengan suasana yang teduh amat teduh. Reremput dan pepohonan
yang tumbuh di sekitar makam bergoyang syahdu ikut pula menyambut kedatangan
para rombongan. Kamal dan Hasan duduk bersila di bawah pohon yang telah dialas
tikar. Salam ziarah, ziarah mukhtasor, dan doa berturut-turut dilakukan.
Di barisan terdepan, duduk seorang
ulama yang telah siap memimpin doa. Sejak tadi, Kamal tak henti menatap
wajahnya. Wajahnya bening bagai bulan purnama yang memantulkan sinar keemasan.
Ia ingin sekali memiliki wajah seperti ulama tersebut. Tapi… Ah, tidak mungkin
aku seperti beliau! Kamal bergumam. Buru-buru ia hapus angan itu.
Sesaat kemudian, acara di Komplek
pemakaman Kawah Tengkurep berakhir. Para peziarah kemudian bertolak menuju
Pemakaman Auliya Kambang Koci yang letaknya tak jauh dari Kawah Tengkurep. Di
pemakaman ini banyak makam para ulama dan keluarga keturunan Arab yang telah
berperan penting dalam penyebaran islam di Bumi Sriwijaya, bahkan di belahan
nusantara.
Kamal dan Hasan duduk beralas tikar
di samping salah satu makam. Mata kamal tertuju pada beberapa nisan yang ada di
sana. Dari bentuknya, nisan-nisan itu telah berumur ratusan tahun dan merupakan
peninggalan budaya masa lalu Palembang. Kamal mengelap salah satu nisan dengan
telapak tangannya.
“Mal
kamu tahu tidak, kalau para ulama dari Hadhramaut, Yaman
menyebut Kambang Koci sebagai Zanbal atau
pemakaman para wali di Kota Tarim, Hadhramaut-nya Palembang?”
“Yang benar, San?”
“Iya. Tak heran Mal, kalau di hari
biasa, di komplek makam ini juga sering dikunjungi peziarah dari berbagai
daerah di Indonesia, bahkan dari luar Indonesia,” jelas Hasan.
Kamal
memanggutkan kepalanya.
Tak
berapa lama, seorang ulama mulai memimpin salam
ziarah, pembacaan yasin, tahlil, doa, kasidah, dan talkin zikir. Kamal, Hasan,
dan peziarah yang lain ikut pula menyenandungkan bacaan demi bacaan itu.
Perlahan semakin perlahan matahari
mulai merangkak naik. Pada barisan depan, duduk seorang ulama bermunajat memimpin
doa untuk para auliya. Sesekali Kamal melirik jam yang melingkari pergelangan
tangannya. Jarum jamnya menunjukkan pukul 11.25 WIB. Beberapa saat kemudian,
kegiatan ziarah di Kambang Koci pun selesai. Dengan berakhirnya ziarah di
Kambang Koci, maka berakhir pula rangkaian ziarah kubro. Sebelum para peziarah
beranjak pulang, bergegas panitia menyiapkan nasi kebuli dan gulai kambing
sebagai santap siang.
Ketika
panitia hendak menyajikan menu makanan, Kamal bersegera pulang. Namun,
buru-buru ia ditahan Hasan.
“Mal,
kita makan dulu saja.Tidak baik, panitia telah menyediakan santap siang untuk
kita.”
“Tapi
San, aku mau membeli pempek dan kerupuk pesanan istriku!”
“Sudah,
nanti aku antar ke tokonya. Sebaiknya kita makan dulu!”
“Ya
sudahlah kalau begitu.”
Kamal,
Hasan, dan para peziarah lain mulai menyantap nasi
kebuli dan gulai
kambing. Rasanya yang lezat ditambah dengan acar, sambal, bawang goreng, dan
kismis membuat Kamal dan lainnya semakin lahap menyantapnya.
***
“Nggak
masuk dulu, San?”
“Terima
kasih sobat, aku harus buru-buru!”
“Ya
sudah kalau begitu.”
“Jangan
lupa telepon atau kirim sms kalau besok mau pulang ke Jakarta ya!”
“Oke!’
balas Kamal sambil mengacungkan jempol ke arah Hasan.
Kamal
menuju rumahnya sambil menjinjing barang belanja di kedua tangannya. Setiba di
rumah, ia melihat Aldi – anak tiri kakaknya tengah asyik menonton televisi.
Lekas ia menunaikan sholat zhuhur yang sebentar lagi waktunya habis. Ketika
Kamal tengah berdoa sehabis sholat, tiba-tiba ia dikagetkan suara ketukan
pintu. Dari sumber suara, Kamal menduga-duga itu suara perempuan. Beranjak ia
dari sajadah, lalu melangkah ia menuju pintu. Dilihatnya Aldi tertidur pulas di
depan tv. Wajar saja pintu nggak ada
yang buka, pikirnya. Memang sepulang membeli oleh-oleh tadi, Kamal sengaja
mengunci pintu. Takut pencuri atau orang yang tidak dikenal masuk ke rumah.
Ketika
pintu terbuka, seorang perempuan berusia 35 tahunan tengah hamil berada di
hadapannya. Tiba-tiba mereka sama-sama kaget. Lalu saling pandang, lama.
“Muhammad
Kamaludin?”
“Iya,
Saya Kamal. Bukankah kau Reni Mardiana?”
“Iyaa…
Saya Reni Mardiana!”
“Untuk
apa kau datang ke rumahku? Bukankah kau telah memilih pria lain dibanding aku
yang pemalu dan miskin!”
“Jadi…..?”
kata Reni dengan wajah tegang dan bingung sambil menunjuk Kamal.
“Jadi
apa?” suara Kamal agak meninggi.
“Ayo,
masuk dulu!” kata Kamal.
Reni
akhirnya masuk. Mereka sama-sama duduk, saling berhadapan.
“Mal,
sebenarnya aku ini istri dari Bang Amin, kakakmu?” kata Reni mulai membuka
suara.
Kamal
tersentak kaget, bahkan sangat kaget. Mulutnya menganga
sepersekian detik kemudian. Mendadak kepalanya pusing.
Keterangan:
1. Ziarah
yang dilakukan oleh kaum muslim laki-laki, baik kaum Adam keturunan Arab maupun
keturunan Palembang bahkan luar Palembang secara bersama-sama dengan
mengunjungi beberapa makam para ulama dan auliya yang ada di Palembang seminggu
sebelum memasuki bulan Ramadhan. Lazimnya diselingi dengan bacaan takbir,
dzikir, dan tabuhan gendang guna menyemarakan suasana. Para peziarah biasanya
menggunakan pakaian putih-putih, mulai dari peci, baju koko, hingga sarung.
2. Perahu
bermesin yang dapat ditumpangi oleh 2-10 orang
3. Lompat
tali
4. Kelereng
5. Kuliner
khas Palembang rasanya mirip tekwan tetapi bentuknya berbeda
6. Kuliner
khas Pa lembang yang terbuat dari tepung beras. Rasanya gurih.
7. Kumpulan qoshidah untuk memuji Nabi Muhammad Saw baik
kehidupan, tingkah laku, dan sebagainya
8. Teras
9. Seorang waliyullah yang ‘alim dan berwibawa yang ikut
menyebarkan Islam di Palembang, bahkan di tanah air. Pada masa kesultanan
Palembang, beliau pernah menduduki jabatan bendahara kesultanan.
Wednesday, January 28, 2015
|
Labels:
Cerpen
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
- “ngaBLOGburit”
- Acer Indonesia
- Acer Liquid Z320.
- Berkah Ramadhan
- Biaya Umroh
- Catatan Anak Bangsa
- Cerpen
- Daftar Umroh
- emas
- Haji Umroh
- Ibadah Umroh
- Jalan-Jalan
- Jelajah Gizi
- Kearifan Lokal Palembang
- Kontes Foto
- Kontes Menulis
- Motor
- Puasa
- Ramadhan
- Shooting Iklan
- Smartphone Acer
- Travel Umroh
- Umroh Murah
- Umroh Ramadhan
- Undian
- Unilever
0 comments:
Post a Comment