Cahyono Akbar, si Penulis Berhati Mulia


By : Ilham Buchori



Cerita inspirasi kali ini memaparkan tentang keprihatinan seorang penulis terhadap anak-anak yang belum tersentuh pendidikan di kampung kelahiran ibunya. Hatinya pun semakin terenyuh ketika melihat anak-anak yang masih belia yang seharusnya bersekolah sudah bekerja. Dari sana, maka ia pun memutuskan untuk membangun sebuah sekolah. Berikut kisahnya!


***

Yono adalah seorang penulis novel. Nama lengkapnya Cahyono Akbar. Ia sukses menelurkan 16 judul novel, 21 kumpulan cerpen bersama teman-temannya. Tak jarang, novel yang dibuatnya berderet dalam rak buku best sellers. Sebut saja Perempuan di Balik Kidung, salah satu judul novelnya menuai sukses besar. Nilai penjualannya tembus lebih dari 50 ribu kopi.

Namun, saat ini ia sedang kehabisan ide untuk penulisan novel selanjutnya. Lama ia duduk di depan laptopnya. Namun, tak ada satu huruf pun yang ia ketik di sana. Tak berapa lama, ia memandang sekumpulan album foto diatas lemari pakaiannya. Kemudian ia berdiri, lalu diambilnya album itu. Banyak debu yang menempel di sana. Perlahan semakin perlahan, dibersihkannya debu-debu itu. Setelah dibuka, ternyata album foto semasa kecilnya di kampung ibunya. Dipandangnya satu persatu foto yang ada di sana. Yono masih ingat, foto itu adalah pemberian kakak mahasiswa yang sedang melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di kampungnya.

Terpampang wajah teman-teman kecilnya meski agak kabur. Ada Usman, Gani, Hasyim, Lukman, Taufik, dan Ilyas. Seketika ia menjerit kegirangan. Ia baru saja mendapatkan ide untuk pembuatan novel selanjutnya. Mengapa aku tidak mengulas kehidupan semasa kecilku di kampung ibu dulu?, pikir Yono. Namun, untuk mewujudkan semua itu, aku harus melakukan riset ke kampung ibu agar novel yang kutulis nanti dapat meyakinkan para pembaca, pikir Yono lagi.

Keesokan harinya, maka Yono berangkat menuju kampung ibunya dengan mengendarai mobil. Banyak cerita dan tempat menarik yang tidak bisa ia lupakan di sana. Maka dari itu, ia bersikeras untuk menjadikan pengalaman semasa kecilnya menjadi bagian cerita dari novelnya.

Hampir merapat pukul empat sore, Yono telah sampai di gerbang kampung ibunya. Namun, untuk menjangkau pemukiman ibunya, diperlukan waktu sekitar satu jam lagi. Jangan salah, walau di pedalaman, sudah banyak kepala keluarga yang tinggal di sana.

Dilihatnya pepohonan sepanjang jalan menuju pemukiman ibunya. Sayang, pepohonan yang dulu hijau itu, kini tak sebagus dulu. kering dan merangas. Malah sudah banyak yang ditebang. Yono masih ingat, di balik pohon-pohon itu ia bersama temannya sering bermain sambil mencari sayur-sayuran dan ubi jalar. Yono kemudian tertawa sendiri mengenang masa lalunya.
Tak lama kemudian, Yono terdiam. Ia melihat ada sesuatu yang hilang. Ya, Surah. Surah tempat ia belajar mengaji dan membaca dulu tak ada lagi. Masih segar dibenaknya, surah itu letaknya membelakangi sungai. Tapi kini, hanya ada sungainya saja. Ketika ia menoleh ke arah sungai, airnya pun tampak keruh. Kemana surah itu? Tanya Yono dalam hati.

Dosen di sebuah perguruan tinggi swasta itu lantas menerawang ke masa lalunya. Ia masih ingat, saat belajar dengan Pak Kun, gurunya di surah itu. Pak Kun begitu telatennya mengajarkannya mengaji, membaca, menulis, dan berhitung. Selain mengajar, beliau juga bisa membuat irigasi, mengobati anak kecil atau orang tua yang sedang sakit. Pak Kun adalah orang yang serba bisa. Yono begitu mengagumi Pak Kun.

Namun sayangnya, Yono tak lama tinggal di kampung yang bernama Telaga Subur itu. Ketika berusia sembilan tahun, ia dan ibunya diboyong ayahnya untuk mengadu nasib ke kota. Sejak saat itu, Yono tak pernah menyambangi kampung yang menyimpan sejuta pengalaman menariknya itu. Ini untuk kali pertamanya, ia kembali menginjakan kaki di Telaga Subur.

Hampir senja, mobil Yono telah sampai di pemukiman ibunya. Turun ia dari mobil sambil membawa laptop. Dilihatnya dari kejauhan, anak-anak perempuan tengah asyik bermain. Dipandangnya satu persatu rumah-rumah yang ada dihadapannya. Masih seperti dulu. Lantas Yono berjalan mendekati rumah yang di sampingnya ada sumur. Masih lekat dipikiran Yono, rumah itu milik Mbah Karto, kepala adat kampung ini. Diketuknya pintu rumah itu, namun tak ada sahutan dari dalam. Yono melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Lima lewat sepuluh menit.

Ketika Yono duduk beristirahat di teras rumah Mbah Karto, Yono terkesiap saat melihat sekumpulan anak laki-laki telanjang dada sambil memikul karung kecil berisi padi. Bergegas Yono berlari menyusul anak-anak itu untuk membantunya. Anak-anak itu kaget melihat Yono.
”Perlu saya bantu!” Yono menawarkan.
Anak-anak itu dengan polosnya menjawab, ”Tidak, Pak! Ini sudah tanggung jawab kami.
Yono tertegun dengan jawaban yang dilontarkan anak-anak tadi. Coba saja Hafidz, putraku mandiri seperti anak-anak ini, aku dan Renny pasti akan merasa senang, pikir Yono.

Tak berapa lama, datang seorang laki-laki berusia 50 tahunan dan istrinya mendekati Yono. Lalu dengan heran menyapa Yono :
”Siapa ya?” tanya laki-laki itu dengan kening berkerut.
”Saya Yono, Pak! Anak Pak Husin!” jawab Yono.
“Ooooooo….. Cahyono. Keren sekali penampilanmu sekarang. Silakan masuk, Nak Cahyono!” perintahnya kemudian.

Di dalam rumah, Yono dan Pak Salam, nama laki-laki itu pun akhirnya terlibat percakapan panjang. Dari obrolan itu, Yono jadi tahu, bahwa Mbah Karto, bapaknya telah lama meninggal, baru tahun ini kampung mereka berhasil panen, jabatan kepala kampung/adat sekarang diemban kepadanya, teman-teman seusianya telah lama meninggalkan kampung ini, dan obrolan lainnya yang tak kalah hangat. Begitupun Pak Salam, tahu apa maksud kedatangan Yono ke Telaga Subur.

Namun, saat Yono menanyakan kemana surah yang ada di dekat sungai, Pak Salam lama terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Setelah Yono terus mendesak, maka beliau pun memberikan jawabannya :
“Sejak Pak Kun meninggal 8 tahun silam, surah itu tak terawat, nak Yono. Kami hanya sibuk mengurus sawah dan ladang kami. Anak dan cucu kami, kami biarkan membantu kami daripada mereka bermain terus-menerus,” ujar Pak Salam.

Seketika Yono terenyuh dengan penuturan Pak Salam. Hatinya terasa dipukul bertalu-talu. Harapannya pun bertolak belakang. Ia berharap kampung Telaga Subur justru semakin maju dan subur, sesuai dengan namanya. Namun sebaliknya. Kampung kelahiran ibunya itu justru kian terpuruk.

Tak terasa, sudah tiga hari dua malam ia tinggal di kampung Telaga Subur. Banyak suka-duka yang ia rasakan selama itu. Sukanya, ia dapat membaur dengan anak-anak di sana, dan tentunya hasil risetnya untuk menulis novel terpenuhi. Sedangkan dukanya, banyak pemandangan yang ia lihat tak selayaknya ia lihat. Sungai yang tidak lagi jernih, pepohonan yang merangas, serta MCK yang tidak layak. Apalagi waktu sekolah digunakan untuk bekerja, membuat ia semakin prihatin dengan keadaan anak-anak di Telaga Subur. Tak pelak, dari sana tekad Yono untuk membangun sekolah semakin membumbung.

Tekad yang Terwujud

Sesampai di kota, Yono menghubungi semua rekan penulis sesama komunitasnya. Setelah berkumpul, diutarakannya segala hal yang ia lihat di kampung Telaga Subur. Hampir diantara mereka haru biru mendengar cerita Yono. Akhirnya diujung pertemuan itu, mereka sepakat menyumbangkan royalti mereka untuk membangun sekolah di sana.

Dua jam berselang, Yono membuat proposal bantuan buku dan perlengkapan sekolah kepada penerbit yang selama ini diajaknya kerjasama. Selain itu, ia juga mengirimkan proposal bantuan dana ke berbagai perusahaan ternama yang ada di kota.

Malam harinya, Yono ngebut menulis. Ia bertekad, dua minggu kedepan novel yang akan ia beri judul Menggapai Harapan ini sudah harus diselesaikannya. Dan ia berjanji, royalti yang ia peroleh dari novel ini akan disumbangkannya hanya untuk kampung Telaga Subur.

Setelah dananya terkumpul dan penulisan novel itu telah diselesaikannya, lantas Yono dibantu beberapa rekannya membeli semua bahan bangunan untuk membangun sekolah di kampung Telaga Subur. Tak hanya itu, ia juga mencari pekerjanya dari kota. Ia bayar tinggi pekerja-pekerja itu. Mereka pun menyanggupinya.

Ketika Yono dan rombongan sampai di Telaga Subur, anak-anak yang tengah bermain terkaget-kaget. Mereka berlari-lari kecil melihat dari dekat mobil-mobil truk itu. Begitupula orangtua mereka, tak kalah kagetnya melihat kedatangan Yono dkk. Secepatnya mereka bahu membahu menurunkan bahan bangunan, peralatan, dan perlengkapan yang ada di dalam mobil. Sengaja Yono tidak mau membicarakan hal ini kepada penduduk kampung, termasuk kepala adatnya. Ia ingin memberi kejutan.

Untuk mengenang surah tempat belajarnya dulu, maka Yono memutuskan membangun sekolah di atas tanah surah itu. Tak kurang tiga bulan, sebuah sekolah satu atap telah berdiri di kampung Telaga Subur. Selama itu pula, Yono dkk bolak-balik kota-Telaga Subur dan tidur di rumah Pak Salam. Selain itu, Yono juga membangun MCK.

Beruntung, selama pembangunan sekolah, Yono tidak merasa kekurangan dana lantaran proposal yang ia kirim disetujui oleh beberapa perusahaan. Pun dengan penerbit yang selama ini diajaknya kerjasama, bersedia menyumbangkan buku-buku bacaan dan perlengkapan sekolah.

Di sekolah satu atap itu, bukan hanya ruang kelas yang Yono bangun, namun di sana ia bangun pula perpustakaan, ruang seni, mushola, dan tak ketinggalan ia bangun lapangan bermain. Untuk mencari tenaga pengajarnya? Tak sulit bagi Yono karena ia adalah seorang tenaga pendidik dan banyak dari temannya yang bersedia membagi ilmunya untuk anak-anak di kampung Telaga Subur.

Ketika peresmian sekolah, sambutan dari penduduk kampung begitu positif. Yono pun menamai sekolah itu dengan nama Sekolah Telaga Subur. Mereka senang ketika mengetahui ada sekolah di kampungnya. Pemerintah setempat yang diundang saat itu, merasa kagum dengan perjuangan Yono dkk dan mendukung sepenuhnya dengan apa yang telah dilakukan Yono.

Makin Ramai

Mengingat anak-anak di Telaga Subur berumur 4-13 tahun, maka Yono memperuntukkan sekolah tersebut setingkat Sekolah Dasar (SD). Untuk tahap awal, Yono memutuskan kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan tiga kali seminggu. Pagi harinya, ia ajarkan anak-anak di sana membaca, menulis, dan berhitung. Sedang di malam harinya, ia ajarkan mengaji.

Sungguh di luar dugaan. Meski anak kampung, minat mereka menimba ilmu begitu tinggi. Terbukti, belumlah gerbang sekolah dibuka, mereka telah datang pagi-pagi. Bukan hanya itu, ketika Yono memberikan penjelasan, mereka menyimaknya dengan penuh kesungguhan.

Demi memajukan dunia pendidikan di Telaga Subur, Yono juga mengajak anak-anak di Telaga Subur belajar mencintai seni. Yono dan teman sesama penulisnya mengajarkan kepada mereka menggambar dan melukis. Sedang sang istri mengajarkan seni tari kepada anak-anak perempuan. Tak sulit bagi sang istri mengajarkan seni tari kepada mereka, pasalnya saat di SMP dan SMA dulu ia aktif dalam eksul sendratari.

Empat bulan kemudian, kampung tetangga yang mengetahui ada sekolah di Telaga Subur, rela bersepeda untuk sama menimba ilmu. Yono pun menyambut baik berita itu. Perlahan semakin perlahan, anak-anak yang mengenyam pendidikan di Telaga Subur makin ramai. Dari 60 murid bertambah menjadi 100 murid.

Berkat perjuangan serta ketelatenan Yono mendirikan sekolah, dewi fortuna pun berpihak kepadanya. Menggapai Harapan, novel yang bercerita tentang masa kecilnya di Telaga Subur menjadi novel best sellers. Novel tersebut pun menjadi perbincangan hangat di kalangan pembaca fiksi.

Maka ketika memperoleh royalti, Yono menepati janjinya. Ia kemudian memperbaiki di bidang lingkungan yang dianggapnya sangat memprihatinkan. Lalu ia membeli bibit tanaman untuk ditanam sepanjang jalan menuju kampung Telaga Subur. Dibantu anak-anak kampung, Yono mengerjakannya. Mereka begitu senang.

Setahun kemudian, murid di sana semakin ramai. Kegiatan belajar-mengajar pun dilaksanakan selama seminggu penuh. Yono dkk bergantian mengajar. Pemerintah setempat pun memberikan bantuan tambahan kursi dan meja sebagai sarana belajar.

Ketika ada festival kesenian di kota, Yono mencoba mengikutsertakan muridnya dalam lomba menari. Tak disangka, juri pun menempatkan mereka di posisi ke-2. Yono dan istri serta teman-teman begitu senang dan bangga mengetahui hal itu. Dari sana, Yono dkk semakin termotivasi memberikan ilmu yang mereka memiliki kepada anak-anak kampung Telaga Subur dan kampung tetangga.

Kini, harapan Yono memajukan dunia pendidikan dan lingkungan di kampung Telaga Subur dari keterpurukan menjadi kampung yang maju, sudah tercapai. Namun, ia tak puas sampai disitu saja. Ia berusaha untuk terus meningkatkan taraf kehidupan di Telaga Subur. Ia berencana ingin mendirikan tosesrba jika kembali memperoleh royalti.

Bumi Sriwijaya, 24 Januari 2011

Note : Dilarang mengutip cerita ini tanpa seizin penulis.


Picture Source :http://www.kinderhulpindonesie.nl/pages_ind/gerealiseerd%20tot%202006_ind.html

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers