Pengabdian Diri


Malam semakin pekat. Angin berhembus pelan masuk dari celah bilik kamarku. Jarum jam yang menggantung di dinding terus berdetak. Kubiarkan lampu masih menyala. Aku tengah sibuk mengoreksi lembaran ujian muridku. Masih ada setumpuk yang belum dinilai. Kalau kubiarkan, esok pekerjaanku makin menumpuk. Aku tak mau menjadi pribadi yang sering menunda-nunda. Tak baik, pesan mendiang ibu saat aku masih duduk di bangku SMP.
Tak berapa lama, bunyi sms masuk. Kubuka lalu kubaca. Aku tersentak kaget. Pesan itu dari Bang Hadi, kakak laki-laki tertuaku. Isinya begini: Ren, Pemkot sedang membuka lowongan CPNS. Cepat kamu pulang. Urus berkas-berkasnya. Tinggalkanlah dusun kecil itu! Berulang kali kubaca pesan singkat itu. Antara senang dan sedih aku membacanya. Buru-buru aku menekan nomor telelpon Bang Hadi, lalu kuhubungi ia. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hanya gagal yang kuperoleh. Nomor Bang Hadi tak bisa kuhubungi. Mungkin Bang Hadi sudah tidur, pikirku. Kulanjutkan kembali mengoreksi kertas ulangan anak-anak seraya ditemani secangkir kopi khas dusun ini.
***
Aku berjalan gontai menuju gedung sekolah itu. Sebenarnya hari ini aku tak ingin masuk mengajar. Kepalaku sedang pusing. Di tambah lagi dengan pesan singkat dari Bang Hadi semalam, membuatku semakin pusing. Tapi hari ini jam pelajaranku padat. Aku tidak mau meninggalkan kewajibanku sebagai seorang pengajar – sebagaimana awal janjiku.
Dari jauh, kulihat beberapa murid menyusulku tergesa. Semakin dekat, wajah-wajah penuh asa itu semakin menyorotkan sinar ketulusan. Aku memasang senyum istimewa. Aku tak ingin menunjukan rasa sakit yang kurasa pada mereka. Setelah dekat, mereka berebutan menyalamiku. Aku balas mengelus rambut mereka satu persatu.
“Bu, hari ini Toni tidak masuk sekolah lagi,” kata Vita, murid kelas IV.
“Iya Bu, Toni tidak masuk sekolah lagi,” timpal Hani.
“Jadi, kemana Toni sudah tiga hari tidak masuk sekolah?” tanyaku bingung.
“Toni sakit, Bu!” sahut Deni, teman sebangku Toni.
“Ya sudah, nanti sepulang sekolah kita lihat Toni ke rumahnya,” jawabku bijak.
Gegas kami melangkah menuju ruang kelas. Suara lonceng menandakan jam pelajaran pertama baru saja berbunyi.
Sesuai janjiku kemarin, hari ini aku akan mengadakan ulangan matematika kepada murid kelas IV. Kuperintahkan kepada mereka untuk mengeluarkan selembar kertas. Lalu aku melangkah menuju papan tulis. Kutulis soal demi soal ulangan kali ini. Di belakang, sesekali kulihat para muridku sangat antusias menulis.
“Jawablah dengan benar ya anak-anak! Siapa yang mendapatkan nilai 10, Ibu akan kasih hadiah,” kataku setelah menuliskan lima soal ulangan kali ini.
Kemudian aku duduk di bangku seraya mengabsen murid-muridku. Setelah itu, kupandangi satu persatu wajah mereka. Ulan, gadis kecil berhidung bangir itu sangat antusias mengerjakan soal dariku. Sampai peluh di dahinya mengalir pun, tak ia gubris. Ari, bocah hitam manis yang bercita-cita menjadi Menteri Pertanian itu, tangannya tak henti menari-narikan penanya di atas kertas. Hani, gadis kecil berambut panjang itu tampak gelisah. Tapi kutahu, ia mampu untuk mengerjakan soal yang kuberikan. Ia sebetulnya anak yang pandai.
Tiba-tiba hp dari saku seragamku berbunyi – menandakan ada pesan masuk. Lekas kuambil, lalu kubuka. Rupanya sms dari Ratna, teman kuliahku dulu. Isi smsnya sama yang dikirim Bang Hadi semalam; tentang penerimaan CPNS. Aku terdiam sejenak setelah membaca pesan singkat itu. Kemudian, kubalas sms dari Ratna.
Jujur, sebenarnya terbersit di hati ini untuk mengikuti tes CPNS. Tapi, aku sudah betah mengajar di dusun ini. Aku suka semangat belajar anak-anak di sini. Semangat mereka menyala-nyala seperti api yang membakar kayu bakar. Manapula aku tak mau mengingkari janji pada Bu Fatimah, Ibu Kepala Sekolah. Aku telah diamanatkannya menjadi wali kelas merangkap guru matematika, kerajinan tangan dan kesenian untuk kelas I sampai VI. Seketika bingung menjalar ke seluruh tubuhku.
 “Bu, Ulan sudah mengerjakan semua soalnya!”
Mendadak suara Ulan menyentakan lamunku.
“Iya, Lan. Sini Ibu lihat,” sahutku gelagapan.
Sesaat kemudian, terdengar suara lonceng dipukul. Menandakan pelajaran matematika telah usai. Buru-buru anak-anak mengumpulkan jawabannya. Kuperiksa sepintas jawaban dari mereka. Aku tersenyum bangga. Semua muridku mampu menyelesaikan soal yang kuberikan dengan baik. Bersegera kutinggalkan kelas yang memiliki banyak prestasi ini, lalu aku melangkah ke kelas lain.
***
Suara lonceng dipukul berkali-kali – menunjukan waktu jam pulang tiba. Murid-murid mulai berdoa, menyalamiku, kemudian menghambur pulang. Saat hendak berjalan menuju gerbang, kulihat beberapa murid kelas empat masih berkumpul di sana. Entah apa yang tengah mereka tunggu. Ketika aku melintas tepat di depan mereka, Hani menghentikan langkahku. Aku kaget.
“Buuu, jadi kan kita hari ini ke rumah Toni?” tanyanya lembut.
“Ke rumah Toni?”
“Iya, kata Ibu tadi pagi kita akan ke rumah Toni!”
Astaghfirullah, Ibu lupa! Terima kasih ya sayang, telah mengingatkan Ibu. Ayo, sekarang kita ke rumah Toni!”
Deni, si ketua kelas menakhodai jalan kami. Ia berada di depan, sebagai petunjuk arah. Kebetulan rumah Deni tak jauh dari rumah Toni. Jadi ia tahu persis letak rumah Toni. Beberapa menit kemudian, aku terkejut. Jalanan menuju rumah Toni penuh dengan lumpur. Sejurus kemudian rasa jijik menyerangku. Namun tidak bagi anak-anak muridku. Dengan sigap, mereka melepas sepatunya. Lalu menancapkan kakinya ke dalam lumpur.
Tiba-tiba air mata ini ingin tumpah, namun kucoba untuk menahannya. Ya Allah, begitu tinggi mereka menjunjug nilai persahabatan, bisikku dalam hati. Gegas kuusir rasa jijik yang menyelinap. Lalu kubuka sepatuku. Kucelupkan kakiku pada lumpur kotor itu. Aku tak mau membuat murid-muridku kecewa. Aku ingin membuat mereka selalu tersenyum, tersenyum, dan tersenyum.
Tak berapa lama, kami sampai di rumah Toni. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami. Rambutnya panjang terurai. Ia tersenyum lembut.
“Silakan masuk, Bu!” katanya ramah.
Kami semua masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah, kulihat Toni tengah terbaring lemah di atas kasur. Ketika kuhampiri, Toni masih sempat menyalamiku. Beberapa menit kemudian, Maher Zain bersenandung merdu lewat Thank You Allahnya. Ada panggilan masuk. Kurogoh ponselku. Nama Bang Hadi tertera di sana. Lekas kujawab.
“Wa’alaikum salam, Bang!”
“Ren, pokoknya besok kamu harus pulang! Penerimaan CPNS tinggal beberapa hari lagi.”
“Tapi Bang… Reni sudah betah mengajar di sini Reni,” potongku cepat.
“Terserah! Kalau kamu ingin membuat Ayah dan Ibu bahagia di alam kubur, cepat kamu lamar!” katanya ketus.
Klik. Bang Hadi mengakhiri pembicaraannya. Aku mendesah. Aku tahu Bang Hadi sangat menyayangiku. Ia tak mau melihat adik-adiknya mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai menurutnya. Tapi bagiku, mengajar di dusun ini sama saja mengajar di kota. Justru di sini, aku banyak menemukan nuansa berbeda yang tak kudapat di kota. Aku banyak belajar tentang segala hal di sini. Belajar tentang arti bersyukur, semangat hidup, persahabatan, kerukunan, gotong royong, dan masih banyak lagi.
***
Malam ini, aku mulai mengemas beberapa pakaianku. Esok aku akan pulang ke kota dan melamar sebagai PNS. Sehabis ashar tadi, aku telah meminta izin pada Ibu Fatimah, dan beliau pun memberikan izin. Terpaksa aku berbohong padanya. Kualasakan Bang Hadi diopname di rumah sakit. Aku yakin, kalau aku berkata jujur, di wajahnya akan terbit gurat kecewa. Sepertinya beliau tak mau kehilanganku.
Tak lama, pintu kamarku diketuk. Gegas kubuka. Di balik pintu telah berdiri Ibu Fatimah.
“Ya Bu, ada apa?”
“Itu di luar Ren, ada yang mengaku sebagai orangtua dari Toni, murid kelas empat. Dia ingin bertemu denganmu.”
Aku ternganga, bibirku membulat membentuk huruf O.
Selama menetap di dusun ini, memang aku tinggal serumah dengan Ibu Fatimah. Beliau telah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Gegas aku dan Ibu Fatimah melangkah ke ruang tamu. Dan benar, di sana telah duduk Ibu Toni. Tampaknya ia gelisah. Kulihat berulang kali dia meremas tangan dan menggigit bibirnya. Ketika ia menatap ke arahku, buru-buru ia mendekatiku.
“Buu… Toni Bu…,” desisnya.
“Apa yang terjadi, Bu?” tanyaku ingin tahu.
“Badan Toni semakin panas saja, Bu. Dia selalu memanggil nama Ibu Reni.”
Malam itu juga, aku dan Ibu Fatimah langsung menuju rumah Toni. Di tengah perjalanan, air mata Ibu Toni tak henti mengalir. Sesekali kudengar isaknya. Namun aku berusaha menenangkannya.
***
Sehabis menunaikan sholat subuh, aku mulai bersiap-siap. Kuhadapkan wajahku pada cermin. Bersolek aku dan memasang jilbab. Sesaat kemudian, wajah satu per satu anak-anak muridku menyelinap di pelupuk mata. Wajah-wajah penuh semangat itu terus membayangiku. Mendadak pikiranku hinggap pada perbincangan dengan mereka dua bulan yang lalu. Saat kutanya bagaimana kalau aku tak mengajar lagi di dusun ini. Hampir dari raut muka mereka menunduk lesu. Mereka seperti bunga layu yang tak pernah disiram.  
Kutepis bayangan wajah anak-anak, bersegera aku melangkah keluar kamar. Di ruang tamu, Ibu Fatimah telah menungguku.
“Bu, Reni permisi pulang ke kota ya!”
“Iya Ren. Hati-hati di jalan dan jaga diri baik-baik!”
Aku menuju ke luar rumah dibimbing Ibu Fatimah. Duduk kami di teras rumah sembari menanti kedatangan Pak Din. Pak Din akan mengantarkanku ke perusahaan travel yang ada di kecamatan dengan sepeda motornya. Ketika Ibu Fatimah bangkit sebentar hendak mengambil sebungkus biskuit ke dalam rumah, kembali pikiranku dipenuhi dengan wajah-wajah anak muridku. Seolah-olah mereka berbicara, duduk memohon kepadaku. Ibu jangan pergi, Ibu tetap mengajar di sini, Kami akan sangat kehilangan Ibu kalau ibu jauh dari kami, dan sejumlah permohonan lainnya.
Aku tak tega. Pikiranku kalut. Tak terasa, air mataku menitik. Kuurungkan niatku pulang ke rumah dan melamar sebagai PNS. Kupeluk saja Ibu Fatimah yang baru saja berada di depanku. Air mataku kian menderas. Ibu Fatimah bingung.
“Apa yang terjadi Ren, hingga kau menangis?”
“Maafkan Reni Bu, telah berbohong pada Ibu. Sebenarnya Reni meminta izin pulang karena Reni ingin melamar sebagai PNS. Sejujurnya Reni betah mengajar di sini, Bu. Reni merasa telah menyatu dan menjadi bagian dari di dusun ini.”
Ibu Fatimah terus berusaha menenangkanku. Diusapnya hangat punggungku. Tiba-tiba bayang tubuh ibu tepat berada di depanku. Ibu tersenyum bangga kemudian mengacungkan jempolnya ke padaku. Seolah-olah ibu hidup. 

Cerita ini terinspirasi dari perjalanan seorang teman yang turut berpartisipasi menjadi pengajar muda dalam Program Indonesia Mengajar


0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers