Menanti Pak Salim


Hari ini, aku sungguh senang. Betapa tidak, Pak Salim akan datang ke rumah membawa bantuan untukku. Pak Salim adalah Kepala Desa kami. Sosoknya dekat dengan rakyat. Kedatangannya bukan karena ingin mencari simpati. Bukan pula meminta dukungan kepada keluargaku karena beberapa bulan lagi dia akan kembali maju mencalonkan kepala desa. Bukan, bukan itu maksudnya! Ini kunjungan rutinnya ke rumah.
Setiap tiga bulan sekali, dia tak pernah absen datang ke rumah menyalurkan bantuan dari Dinas Sosial untuk anak cacat sepertiku. Pak Salim pemimpin amanat. Tak pernah sekalipun ia menyunat bantuan yang diberikan.
Kulirik jam yang menggantung setia di dinding rumahku. Jarum pendeknya terus mendekati angka delapan. Bergegas kuminta emak untuk memandikanku. Aku tak mau jika Pak Salim datang, aku masih dengan keadaan wajah yang kusut.
Sehabis mandi, kuminta emak untuk membantuku mengenakan baju paling bagus yang kumiliki. Lalu mendorongku ke teras rumah untuk menyambut kedatangan Pak Salim. Kalau sudah begitu, aku akan duduk mantap di atas kursi roda sampai Pak Salim datang.
Tiba-tiba benakku melancong pada masa lima tahun silam – saat Pak Salim belum menakhodai desa kami. Setiap tiga bulan sekali, bapak harus membelah fajar melintasi sawah menembus tanjakan-turunan untuk mengambil bantuan ke balai desa. Bapak harus pagi-pagi sampai di sana. Karena setelah itu, bapak akan bekerja pada Tuan Amin. Aku kadang kasihan melihat bapak. Bapak kadang kehujanan. Kadang pula bajunya sampai kering di badan.
Pernah suatu hari, bapak memikul sekarung beras. Di tengah perjalanan, bapak terjatuh. Berasnya berhamburan. Untung banyak warga yang menolong. Kalau ingat itu, aku ingin menangis. Ingin pula mengutuk diri ini. Mengapa memiliki tangan dan kaki bengkok dan pendek sejak lahir. Mengapa mulut ini tak bisa berbicara seperti kebanyakan orang. Aku benar-benar manusia yang tak bisa diandalkan!
Aku tersentak kaget ketika emak menyentuh pundakku. Emak membawakanku sepiring nasi dan lauk seadanya.
“Tin, ayo makan dulu! Sejak pagi tadi kamu belum makan.” Kata emak setelah berdiri di sampingku.
Aku menggelengkan kepala, pelan.
“Ayo Tini, makanlah dulu! Sedikit saja. Nanti kamu masuk angin.”
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Lalu menjambak rambut, menggigit tangan. Emak terdiam. Begitulah kebiasaanku. Kalau tidak senang, maka apapun akan kulakukan. Aku hanya ingin makan bersama Pak Salim walau hanya sebentar.
Gegas emak berlalu dari pandanganku menuju dapur. Di dapur, emak tengah merebus singkong untuk disediakan pada Pak Salim. Sementara, di sini aku masih setia menanti Pak Salim. Aku yakin, dia akan datang sebentar lagi.
Tak lama kemudian, kudengar samar-samar deru suara sepeda motor dari ujung jalan. Aku berteriak girang. Itu pasti Pak Salim, pikirku. Jujur, sudah tak sabar aku melihat parasnya yang tampan. Tak sabar rambutku diusapnya penuh sayang. Tak sabar aku memakan singkong bersamanya. Namun, rasa senangku perlahan memudar saat kudapati yang mengendarai sepeda motor itu adalah Bik Renti – pemilik usaha penjualan bawang.
Bik Renti ke rumah hendak mengambil bawang yang telah dikupas emak kemarin sekaligus memberikan beberapa kilo lagi bawang yang hendak dikupas. Hampir separuh para ibu di desa ini mengambil upahan mengupas bawang pada Bik Renti. Lumayan, bisa menambahi kebutuhan sehari-hari, kata ibu-ibu di desa ini suatu ketika.

***
Suara adzan ashar dari corong musola berkumandang. Suara muadzin yang mengumandangkan adzan itu merdu, merdu sekali. Tapi, aku heran. Sampai detik ini, tak kujumpa wajah Pak Salim. Kuharap, wajah yang memancarkan terang sinar rembulan itu kini tengah menuju ke rumah. Membawa bantuan untukku.
Aku tahu karakter Pak Salim. Dia tidak akan bohong. Dia selalu menepati janji. Buktinya saja kata bapak. Satu hari setelah dia dilantik menjadi Kepala Desa, Pak Salim langsung merealisasikan untaian janji kampanyenya. Dia turun ke lapangan, melihat dan mendengarkan langsung aspirasi warganya. Dia menambal jalan yang berlubang, membangun jembatan, memperbaiki musola, dan melakukan gebrakan baru di bidang pertanian. Pak Salim memang tipikal pemimpin yang peduli rakyat.
Kulihat di ujung teras, emak hampir menyudahi tugasnya mengupas bawang. Sedang aku, masih tetap setia menanti Pak Salim. Aku yakin, Pak Salim pasti datang. Sejurus kemudian, emak mulai membereskan kulit-kulit bawang yang berserakan lalu bangkit masuk ke dalam rumah.

Setengah jam berlalu. Emak menyembul dari balik pintu. Emak menujuku membawa nasi dan segelas air minum. Perlahan emak semakin mendekat, mencoba membujukku.
“Tin, ayo kamu makan dulu! Kamu belum makan sejak tadi. Mungkin besok Pak Salim akan kemari!”
Aku terdiam sejenak.
“Ayo Tini, makanlah dulu! Nanti kamu masuk angin!”
Kali ini, aku tidak bisa membohongi emak dan diri sendiri. Perutku sudah amat lapar. Kuminta emak untuk menyuapiku. Seketika itu, gurat wajah emak berubah sumringah. Sembari disuapi emak, mataku tak henti melihat sepeda motor yang lewat di depan rumah. Tak sabar aku menunggu kedatangan Pak Salim. Aku yakin, dia akan datang membawa bantuan untukku.
“Habis makan ini, kamu mandi ya Tin! Setelah itu, kita tunggu lagi Pak Salim di sini,” kata emak dengan lembut.
Aku mengangguk. Emak tersenyum, melihatkan barisan giginya yang masih rapi.
Belum sempat emak menggiringku menuju kamar mandi, sayup-sayup terdengar suara bapak berteriak memanggil emak dari halaman rumah.
“Yati…. Yati…!”
Dari teras, kulihat bapak berlari-lari kecil menghampiri kami. Napasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba emak tercenung, sementara aku menatap wajah bapak tak berkedip.
“Bapak kenapa bajunya berdarah?” tanya emak ingin tahu.
“Ini darah Pak Salim, Ti!” sahut Bapak.
 “Maksudnya, Pak?” jawab emak bingung mencerna kata-kata bapak.
“Setengah jam yang lalu, sepeda motor Pak Salim ditabrak mobil, Ti. Mobil yang menabraknya melarikan diri. Sembako yang dibawanya berserakan di jalan. Tadi Bapak membantu membopong tubuh Pak Salim ke dalam ambulans,” papar bapak.
“Jadi bagaimana sekarang kondisi Pak Salim, Pak?” buru emak.
Aku memasang wajah ingin tahu, pun dengan emak.
“Pak Salim meninggal dunia, Ti!” jawab bapak pelan sambil menundukan kepala.
Aku tersentak kaget. Hatiku seperti disambar petir, ditusuk ratusan jarum. Mataku tiba-tba basah, air mataku menetes perlahan. Tubuhku lemas, lemas sekali. Seketika kurasakan angin yang menggoyang pucuk-pucuk daun mangga dan reremput di halaman rumah ikut terdiam. Kulihat wajah emak yang mulai keriput ikut pula dibasahi air mata.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Sungguh, aku begitu kehilangan Pak Salim. Aku takut tidak ada lagi sosok yang dapat menggantikan kepemimpinan Pak Salim. Dia pemimpin amanat. Dekat dengan rakyat.
Buru-buru emak menenangkanku, lalu mendekapku erat.

Gang Sempit, Februari 2015

Cerita ini dibuat untuk mengenang 17 tahun wafatnya Ayahanda, Salim Wijaya.
 
Alhmarhum Ayah Gue





0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers