Ayahku Adalah Panutanku


Salim Wijaya bin Jaya Samblawih. Ya, itu nama ayahku. Berbicara tentang sosoknya, ia adalah figur seorang ayah yang menjadi pondasi bagi kehidupanku dan saudaraku yang lain. Ayah selalu menanamkan nilai-nilai kebaikan kepadaku dan saudaraku yang lain dalam bersikap. Berkata itu harus jujur. Jangan pernah “melihat” ke atas, tapi lihatlah ke bawah. Jangan pernah memandang orang lain rendah. Jangan pernah berjalan angkuh di atas bumi. Sesama saudara atau teman itu harus saling menyayangi, menghargai. Saling asuh, asah, dan asih. Aku benar-benar bersyukur memiliki ayah sepertinya.
Walau wajahnya garang, namun hatinya selembut sutera. Ia tidak pernah memarahiku. Tidak pernah pula memukulku. Ketika aku dan saudaraku bertengkar, ayah langsung menegur kami. Bukan seperti ayah kebanyakan, yang langsung memarahi anaknya. Ia benar-benar figur ayah yang paling mengerti anak dan istrinya.
Masih terngiang di benakku, cerita ibu tentang diriku saat bayi dulu. Kata ibu, aku lahir prematur. Nyawaku saat itu benar-benar di ujung ambang. Nyaris mati. Sempat ibu menutupku dengan kain kafan, namun ayah mencegahnya. Sebelum umurku genap 40 hari, semua aktivitas yang sering ibu lakukan terhadapku, dilakukan ayah. Ayah turut memandikanku. Membuatkan aku tempat tidur khusus yang didesain sedemikian rupa. Diberi lampu dan diselimuti kelambu. Memakaikanku popok hingga membersihkan kotoranku.
Masih kata ibu, tiap malam, tepatnya antara ba’da magrib hingga isya menjelang, aku sering menangis. Menangisnya itu berlarut-larut. Ibu pun lekas menggendongku dengan membacakan shalawat. Namun aku masih saja menangis. Tetapi ketika tubuh kecilku berada digendongan ayah, tangisku berangsur reda. Entah menapa. Mungkin ia membacakan pujian-pujian kepada Allah atau shalawat kepada nabi Muhammad Saw yang menyayat hati di telingaku.
Ketika usiaku menginjak enam tahun, keluargaku ditimpa musibah. Ibuku sakit. Ia tidak bisa melakukan aktivitas sama sekali sampai-sampai mengeluarkan kotoran menggunakan pispot. Semasa ibu sakit, ayah menggantikan posisinya. Segala pekerjaan ibu dikerjakan oleh ayah. Mulai dari mencuci, memasak, mengurus keperluan sekolahku dan saudaraku yang lain. Tak terbayang keletihan di gurat wajah ayah.
Pernah aku kecil terbangun tengah malam untuk membuang air kecil, kudapati ayah menangis saat mengadu pada-Nya. Air mata ayah mengalir membasahi wajahnya yang teduh. Kuurungkan niat untuk meminta antarnya ke kamar kecil. Aku berjalan sendiri menujunya.
Dua bulan sudah ibu berkutat dengan sakitnya. Kini, ibu telah sembuh. Ayah bisa kembali mencari nafkah dengan menggelar dagangannya di pasar. Namun saat malam tiba, kulihat tubuh ayah menggigil. Kuperhatikan wajahnya redup. Sepertinya ia kedinginan. Lekas kucari balsem gosok dan kuambil segelas air hangat lalu kuberikan kepada ayah. Ayah dan ibu yang melihat itu tersenyum bangga padaku. Ia mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang. Sebenarnya malam ini aku ingin meminta dibelikan buku pelajaran sama ayah, namun aku tak tega melihat ia dalam keadaan seperti sekarang ini.
Keesokan harinya, aku benar-benar kaget. Saat pulang sekolah, ayah telah menunggu aku di depan gerbang sekolah. Jujur, saat itu aku malu dengan teman-teman karena dandanan ayah. Belum lagi sepeda bututnya. Kadang rasa iri membalut hatiku saat melihat teman yang lain dijemput ayah mereka menggunakan sepeda motor atau sepeda dengan harga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.
Namun aku teringat pesan ayah, jangan pernah “melihat” ke atas, tapi lihatlah ke bawah. Gegas kuhapus rasa iri tu, lalu berlari-lari kecil aku menuju ayah. Kusalami ayah, lalu ayah siap mengajakku membeli buku.
Sudah setengah jam kami susuri lapak penjual buku bekas di bawah jembatan Ampera. Namun tak kutemui buku yang hendak kubeli. Kemudian ayah mengajakku pergi ke toko buku ternama di kota ini. Sempat aku menolak. Namun, ayah memaksaku. Karena hanya disitu buku itu ada, katanya. Aku yakin, ayah tak mau membuatku sedih. Ayah ingin membuatku tetap belajar sama seperti anak lainnya.
Sesampai di toko buku, aku mendapatinya. Aku senang. Ayah pun senang. Namun ada sesuatu yang membuat aku terhenyak saat itu. Ayah membayarnya dengan lembaran rupiah lusuh. Betapa besarnya pengorbanan ayah kepadaku, pikirku saat itu.
Saat jalan menuju pulang, ayah mampir di sebuah warung kecil. Hendak membeli air minum mineral gelas. Ayah langsung memberikannya kepadaku. Aku sempat kaget. Kiraku ayah akan memberikan dua gelas – satu untukku dan satu untuknya. Ternyata hanya satu gelas. Hanya untukku.  
Kini, aku telah sampai di rumah, sedang ayah kembali ke pasar. Kembali mencari nafkah. Kembali tubuhnya terbakar dengan sinar matahari yang menyengat. Tak heran kalau wajah ayahku agak kehitam-hitaman.
Sore tiba, ayah pulang dari pasar dengan wajah keruh. Ayah menghampiri ibu, aku, dan saudaraku yang tengah menyantap pempek. Ia ikut membaur dengan kami. Tak dipedulikannya bau keringat di tubuhnya. Ia langsung mengendong zakia, adikku. Menciumi Zakia. Mengelus pelan rambutku.
Tak terasa, kini aku sudah duduk di kelas tiga SD. Ada rasa bangga. Karena aku selalu meraih juara 1 dalam kelas. Itu semua berkat ayahku. Tiap malam ayah mengajarkanku membaca dan berhitung. Kadang pula ayah bercerita tentang sejarah jembatan Ampera. Bercerita tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya, dan bercerita banyak hal tentang kehidupan di dunia ini. Ilmuku bertambah banyak. Aku senang.
Namun, beberapa bulan kemudian, aku tidak bisa melihat senyum ayah lagi. Tidak bisa belajar tiap malam lagi dengannya. Tidak bisa bercanda lagi. Ayah meinggal dunia karena angin duduk.  Aku menangis tersedu-sedu. Saat itu, aku tidak mau sekolah lagi. Tidak mau makan. Aku kepikiran terus dengan wajah ayah. Tiga hari kepergiannya, aku melihat wajah ayah tersenyum padaku saat malam mengaum tepat di puncaknya.
Kini, aku tak bisa lagi menemui sosok pria seperti ayahku. Ia adalah laki-laki perkasa yang rela menukarkan jiwanya untuk anak istrinya. Ia rela banting tulang demi membahagiakan anak dan istrinya. Aku berjanji tuk selalu mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan yang telah diajarkannya dalam kehidupanku. Ayah, kau memang panutanku. Figurmu tak tergantikan dalam hidupku.
Kini,  setiap malam jumat kubaca surat yasin dan doa untuk ayah. Kuharap, dengan doa itu aku bisa meringankan siksa kuburnya. Membuat kuburnya lapang pula terang. Ayah, semoga kau tenang di sana!
Robbigfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaa nii shoghiiroo…
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Bumi Sriwijaya yang tentram, 1 April 2012

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Ngobrol Asik..

Followers